Lihat ke Halaman Asli

Adelia Rachma

Empowering minds

Menjadi Wanita "Wani-ditata" atau Wanita "Wani-bercita cita"?

Diperbarui: 27 Oktober 2019   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tekanan role gender yang begitu kuat menjadikan wanita dibatasi ekspresinya, geraknya dan bahkan kebebasan masalah otoritas tubuhnya. Stigma masyarakat seolah olah membuat wanita hanya sebagai "barang pakai" wanita hanya boleh bergerak dalam ruang lingkup dibawah atau dibelakang laki laki seakan akan wanita diciptakan hanya untuk menjaga nafsu laki laki saja atau bisa dikatakan sebagai alat pemuas saja untuk laki laki. Masyarakat melahirkan sebuah tekanan untuk wanita yang berakibat fatal untuk ruang gerak wanita sendiri. 

Seolah olah menjadi wanita di dalam masyarakat partriaki adalah sebuah ketidakuntungan besar, wanita hanya dianggap numpang dunianya laki-laki. 

Wanita tidak berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, wanita tidak berhak melakukan apa yang dia mau, bahkan untuk bercita cita pun menjadi sesuatu yang mustahil terwujud. Serba salah menjadi seorang wanita benar-benar terasa karena hidup dalam masyarakat patriarki. 

Salah satu stigma paling kuat adalah perempuan dianggap terlalu mengedepankan perasaan daripada rasionalnya seperti laki-laki , alasan ini seperti sebuah kodrati yang harus diterima wanita sehingga wanita tidak bisa mendapat keadilan masalah kinerja di dalam pemerintah dan di masyarakat.

Saya membaca post dari social media tentang "Apakah saya harus menjadi wanita atau perempuan" yang akhirnya membuat saya tergugah. Dalam post an tersebut dikatakan Wanita, dalam persepsi kultur (Jawa) di pahami sebagai "wanita ditata", berani ditata atau bersedia diatur (oleh pria khusunya). 

Feodalisme dalam tampak kata "wanita" sangat tampak, yakni bahwa pria adalah pihkan yang memiliki kuasa penuh atas wanita. Wanita adalah sosok yang menjadi sebagaimana yang diinginkan pria. Wanita mengobjekkan dirinya kepada pria. 

Dia menjadi "abdi" bagi pria. Sebagai abdi tentunya posisi wanita lebih rendah atau dibawah laki-laki. Beranggapan seperti tanpa pria, wanita bukan apa-apa. Sifat melekat dari wanita juga cenderung pasif seperti : lemah, gemulai, sabra, halus, kalem, tunduk, patuh, mendukung, berbakti dan mendampingi. Karena itulah, akhirnya lahirlah istilah wanita sebagai kanca wingking atau suargo nunut neroko katut. 

Dalam budaya jawa, seorang pria baru dikatakan sebagai lelananing jagat (lelaki sejati) jika ia telah memiliki harta( berlimpah) , senjata (ampuh). Tahta (tinggi), dan wanita (banyak). 

Disinilah eksistensi wanita sebagai makhluk Tuhan benar benar di tiadakan atau dinihilkan, sebab wanita hanya dianggap sebagai benda atau barang semata.

Sedangkan perempuan, berasal dari kata "empu" yang berarti tuan, orang yang mahir, hulu, atau yang paling besar. Kata perempuan berhubungan dengan "ampu sokong", yakni memerintah, penyangga, penjaga, keselamatan, bahkan wali. 

Perempuan seakar juga dengan kata Puan, yang merupakan sapaan hormat kaum perempuan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline