Mungkin sebagian orang pernah mendengar tentang "Toxic Positivity". Bahkan mungkin tidak hanya mendengarnya tetapi merasakannya secara langsung. Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut diri sendiri atau orang lain untuk selalu bersikap positif sehingga mereka secara terpaksa menolak emosi negatif. Seperti yang kita ketahui, ketika kita sedang di posisi atau keadaan yang benar-benar rendah, tentunya kita membutuhkan dukungan atau dorongan dari orang lain. Tetapi sebaliknya, ternyata dukungan penuh kasih mereka terkadang dapat menyakiti kita. Meskipun itu merupakan dukungan positif, mereka akan dengan mudah membuat kita untuk meminimalkan kesedihan dan memendam emosi negatif yang akan menyebabkan kita tidak bisa menggambarkan perasaan atau emosi yang sesungguhnya. Tentunya ini terdengar beracun. Kepositifan beracun sebenarnya dapat membahayakan mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit.
Misalnya saja ketika kamu sedang menghadapi berbagai masalah dan masalah ini cukup membuat kamu merasa kewalahan, dan ada kalanya kamu merasa tidak berharga. Namun respon dari mereka kurang lebih seperti,
"Mari kita lihat sisi baiknya aja.."
"Kamu harus lebih bersyukur, ada orang lain di bawah kamu dan lebih buruk dari itu.."
"Ah sudah, gausah lebay. Cukup ambil hikmahnya aja.."
Tidak lupa juga membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Begitupula sebaliknya.
Hal ini sudah sering terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari orang terdekat, keluarga, teman, atau pasangan. Dan mungkin beberapa dari kita secara tidak sadar akan atau sudah melakukan itu kepada orang lain. Kalimat positif mungkin dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau sebagai bentuk rasa simpati terhadap masalah yang di hadapi oleh orang lain. Namun, Segala sesuatu yang berlebihan itu buruk. Dorongan positif ini dapat memiliki efek yang lebih negatif lagi jika terus menerus dibiarkan dan dianggap jalan paling benar. Seperti yang kita ketahui, kita memiliki banyak emosi. Senang, sedih, marah, kecewa, takut, khawatir, dll. Tidak ada salahnya kita mengekspresikan emosi yang sebenarnya sedang kita hadapi. Tidak semua emosi kita harus positif. Seperti sebuah kutipan dari seorang psikoterapis asal Amerika Serikat.
Emotions are the neutral values, although they can bring happiness or sadness in humans. But people who try to stay positive end up getting desperate to solve problems"- Karen r. Koenig.
Ketika kita berpandangan positif, tidak menutup kemungkinan cenderung menyalahkan diri sendiri dan mencoba untuk tetap bahagia, kita cenderung menyalahkan diri kita sendiri karena tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak seindah bayangan yang kita rancang sebelumnya yang sudah di harapkan sepenuh hati dengan "happy ending" dan pencapaian itu tidak terpenuhi. Lebih baik terima apa adanya emosi kita dibanding memaksa untuk terlihat bahagia dan berujung memanipulasi diri sendiri ataupun orang lain. Ini akan menjadi sebuah tekanan dan akan mengganggu psikologis seseorang.
Beberapa kasus yang pernah kita lihat atau dengar, seperti bunuh diri. Begitu banyak masalah yang mereka hadapi dan tidak ada yang pernah benar-benar tahu apa isi hati mereka atau apa yang mereka rasakan. Oleh karena itu, kita perlu memahami dan merasakan emosi apa yang mereka alami saat itu juga, untuk membantu mereka bangkit serta merangkul dan memberikan waktu untuk meluapkan sampai mereka pulih dari keadaan emosi mereka. Yang mereka butuhkan hanyalah simpati. Yang mereka butuh hanyalah simpati. Kalau masih bingung, coba untuk jadi good listener. Akan lebih baik daripada mendorongnya untuk "stay positive" dan membanding-bandingkan atau menghakimi.
Dimulai dari sekarang, lebih baik ganti kata-kata tadi menjadi,