Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Pentingnya Kesehatan Mental dan Realitasnya di Indonesia

Diperbarui: 10 Mei 2020   14:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada tahun 2017 lalu, musisi utama band Linkin Park, Chester Bennington mengakhiri hidupnya setelah mengalami depresi yang cukup lama tanpa penanganan yang tepat. Menurut psikolog yang pernah menanganinya mengungkap bahwa Chester memiliki trauma masa lalu yang sampai saat ini menjadi alasan dibalik depresi yang dialaminya sampai ia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri salah satunya karena pernah menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual.  

Memasuki 2019, kematian yang diakibatkan bunuh diri yang dilakukan oleh Sulli, salah satu penyanyi asal Korea Selatan ini kembali menjadi sorotan publik. Kerap menerima komentar jahat disebut sebagai penyebab bunuh diri perempuan yang lahir pada tahun 1994 ini. Atas latar belakang itulah pemerintah Korea Selatan seperti yang dikutip dari World Today bahwa anggota parlemen Korea Selatan mengusulkan untuk pembuatan rancangan undang undang (RUU) untuk melawan komentar jahat yang kemudian diberikan nama 'Sulli Law'.

Berdasarkan kasus di atas, ada persamaan yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri, yaitu mengenai kesehatan mental walaupun dengan alasan yang berbeda-beda. Dilansir dari Psychology Today, penyebab nomor satu dari bunuh diri adalah depresi. Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan kurang lebih 20% individu mengalami masalah kesehatan mental. Jenis masalah kesehatan mental yang umum terjadi adalah depresi dan kecemasan. 

WHO menyatakan bahwa 75% gangguan mental emosional memang umum terjadi sebelum usia 24 tahun atau dalam rentang usia remaja. Dalam berbagai kasus, bunuh diri dan self harm merupakan akibat dari permasalahan dari gangguan kesehatan mental tersebut. Pada Negara Indonesia, berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan data rutin dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental terus mengalami peningkatan di Indonesia. 

Menurut data tersebut, sekitar 14 juta orang (6 persen) yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan kesehatan mental emosional berupa gejala depresi dan kecemasan. Sehingga memang kesehatan mental ini penting untuk dijadikan perhatian oleh masyarakat umum.

Kesehatan mental ini ada beberapa jenisnya, diantaranya yaitu depresi, gangguan kecemasan, bipolar, stress, gangguan psikosis, gangguan obsesif kompulsif dan masih ada banyak jenis gangguan lainnya. Refleksinya di Indonesia banyak masyarakat yang menyatakan bahwa penyakit jiwa dan mental merupakan hal yang sama. Masyarakat awam memang lebih mengenal gangguan jiwa sebagai penyakit gila, begitu pun untuk seseorang yang terkena gangguan mental malah sering disamakan dengan orang gila.

Padahal jika kita lihat secara seksama, sebenarnya gangguan jiwa dan gangguan mental memiliki perbedaan yang cukup siginifikan, diantaranya mulai dari gejala yang terlihat dan juga cara mengatasinya. Walaupun memang apabila gangguan mental tidak diatasi dengan baik maka akan menyerang pada kejiwaanya. 

Akibatnya orang yang terkena gangguan mental menjadi enggan untuk mengatasi apa permasalahan yang menimpa dirinya karena enggan dicap gila oleh orang lain. Hal tersebut mungkin karena untuk menangani sakit secara fisik lebih nyata dilakukan, sehingga orang awam pun mudah untuk mengenalinya. 

Sedangkan sifat gangguan mental yang lebih mudah disembunyikan dan tidak selalu tampak jelas dari luar, atau dampaknya yang tidak terlalu terasa secara langsung, sehingga membuat isu ini menjadi isu sekunder yang masih dianggap remeh dan tidak mendapatkan perhatian sebanyak kesehatan jasmani.

Nampaknya masih cukup panjang waktunya untuk negara berkembang seperti negara kita di mana orang yang menghadapi gangguan mental mudah mendapat pertolongan tanpa terstigmatisasi, di mana perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan bersedia menanggung biaya pengobatannya, atau di mana kultur menjadi lebih bersahabat untuk tindakan penyembuhan penyakit yang sering disebut gangguan kejiwaan ini. Stigmatisasi adalah hal yang sering diterima oleh para penderita dan membuat pada para penderita semakin tertekan.

Stigma dianggap sebagai orang gila atau orang yang kurang dekat dengan agama sering dialamatkan kepada para penderita. Hal ini yang kemudian menyebabkan banyak penderita yang tidak mencari bantuan atas kondisi mereka. Semakin mereka tidak mendapatkan akses yang baik, maka akan semakin parah kondisi kejiwaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline