Lihat ke Halaman Asli

Adelia Agustin Saputri

Mahasiswa di Universitas Sebelas Maret

Ingin Dipahami Tanpa Mau Memahami

Diperbarui: 19 Oktober 2022   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Seiring dengan pertambahan umur saya, saya semakin menyadari bahwa ada bermacam-macam tipikal manusia-manusia yang hidup berbaur dengan saya. Ada yang baik, sangat baik, hingga yang tidak baik. Manusia-manusia itu pun memiliki kebiasaan mereka masing-masing, dan saya memahami kebiasaan itu.

Saya juga tahu, mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kebiasaan itu sudah lekat pada diri kita sejak kecil. Wah, perlu usaha yang ekstra untuk bisa mengubah kebiasaan itu.

Akan tetapi di antara semua kebiasaan yang menurut saya, "okelah, gak apa-apa kalau dia begitu." Ada satu kebiasaan yang membuat saya gemas, yakni kebiasaan untuk mengucap, "Sorry, ya. Lagian kamu, 'kan udah tahu, aku anaknya emang gitu!" 

Lantas? Tak wajarkah saya jika ingin orang tersebut perlahan mengubah kebiasaan itu? Lebih-lebih, seringnya saya menemukan hal tersebut berkonotasi negatif. 

Sebagai contoh, ketika sedang mengobrol saat berada di satu tempat yang ramai pengunjung, ada satu teman yang tertawa terbahak-bahak hingga atensi pengunjung lain tertuju pada kami, lalu saya menegurnya, "Eh, ketawanya jangan keras-keras, dong. Diliatin tuh, sama yang lain." Lalu dibalas, "Yah, kan ketawaku emang gini!" dan lanjut tertawa keras seolah teguran yang tadi hanyalah angin lalu yang tak penting keberadaannya. 

Wah, serius. Saya merasa sangat gemas. 

Begini, wajar sekali jika kita memiliki kebiasaan. Namun kita juga perlu tahu bahwa tak semua kebiasaan yang kita miliki adalah kebiasaan yang baik. Termasuk tertawa terbahak-bahak hingga mengganggu pengunjung yang lain, jelas sekali bahwa itu bukanlah hal yang baik. 

Selain itu, ada juga kebiasaan lain seperti jarang membalas pesan, atau membalasnya dengan selang waktu yang lama dari saat pengirim mengirim pesannya, atau yang kini sering disebut dengan slow response.

Saya tahu, ada banyak faktor yang memengaruhi munculnya kebiasaan itu. Mulai dari kesibukan diri sendiri, hingga keadaan kesehatan baik fisik atau mental yang memang sedang terganggu. Kita bisa saja meminta orang lain untuk memahami bahwa kita sedang sakit, akan tetapi, tak selamanya kita bisa memaksa orang-orang untuk terus memahami hal itu. 

Wajar juga jika kita merasa tak memiliki energi untuk sekadar membalas pesan, tapi tidak selamanya hal tersebut harus diwajarkan dan dimaklumi.

Berkaitan dengan hal itu, saya memiliki satu pertanyaan yang sering mengganggu saya, yakni apakah kita harus selalu memaklumi perilakunya yang seperti itu? Saya rasa tidak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline