Lihat ke Halaman Asli

Adelia TriEka

Pengelana

Aku Lupa Mata-Mu

Diperbarui: 9 Desember 2018   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Succubus Ubus

Senja, kau begitu manis menciptakan KITA, saat kronis zaman menguasai lahan merahku. Hadirnya menguasai pikiran dan melalaikan kewajiban atas tugas yang di emban. Ah fatamorgana. Indahnya hingga membutakan mata.

Pernah satu kali tubuh merasakan kenikmatan yang luar biasa. Sensasi senja yang membuat angan lupa bilangan maya hanya menjebak. Indah tersebut hanya dalam batasan seberangnya dan seberangku. Ini adalah kronis di bibir zaman yang menyerupai sebuah nyata. Aku kalah menjadi sebuah manusia saat hadirnya membentuk.

Kemudian datang cahaya dari celah yang tak terduga. Debar itu selayaknya nyata. Mencumbui maya sejatinya adalah letih dan sesak. Tetapi bait itu mengulang-ulang serupa sebuah film dokumenter yang lama di abadikan dalam sebuah momen. Timbul dan tenggelam. Ah masih saja mencari lagi dan lagi. 

Kusebut kegilaan masa. Mungkin hanya akulah yang bersuara nyaring melayangkan rasa yang lama tidur manis di ketiak kerja. Tanpa memikirkan hal yang lainnya. Sebab derit kehidupan ada dalam pundakku. Dan tidak menoleh ke arah kanan atau kiri.

Bolehkah sedikit saja, membujuk hasrat untuk segera berhenti? Maka izinkanlah aku, ya Rab. Hentikan rasa binal yang menjebak dalam hati. Kabulkan apa yang menjadi inginku atas dunia yang memabukkan ini. Sehingga gelapnya nada bisa hilang dengan cara yang manis.

 Maka pulanglah aku kemudian, membasuh segala noda dan memulai hal yang nyata. Bukankan lebih indah jika dalam sebuah nyata, berbicara bahasa ingin?

Kupercayakan atas nasib dan takdirku di antara arus, yang harus bergerak sesuai buku Catatan jejak, di mana sudah tertulis dengan baik dan begitu apik.

Hun, aku adalah rindu yang deras, juga cinta yang menghentak tidak sabaran, sehingga sapamu bagai mantra yang membuat kelabakan. Dan ini adalah liar yang tak pernah kuhadirkan. Hanya KAU yang membuat kecipaknya lebih deras. Padahal maya adalah bayang-bayang ilusi yang tak sehat bukan?

Untuk segala kita, duhai. Detak tak terjadwal. Merampas kebebasan yang kemarin jelas mengaminkan ketidak jelasan. Dan ini menggunung. Aku tak mengada-ada dan engkau tau itu. Bahkan mungkin berpura-pura tidak memahami. Bahwa detak ini masih tentang kau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline