Lihat ke Halaman Asli

Adelia TriEka

Pengelana

Minta Jodoh Kepada Hamba

Diperbarui: 8 Desember 2018   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Succubus Ubus

Ia menatap langit biru di saat cuaca hatinya semakin memanas. Bagaimana mungkin dia yang di cinta, tidak lagi mengatakan hal di luar nalarnya. Alasan yang tak bisa di pahami. Dan serupa ada sesuatu yang tersimpan tanpa seseorang pun harus tau siapa dia di sebalik gagang telepon.

Dia berkali-kali datang, meminta  sesuatu yang tidak seharusnya. Merendahkan diri hingga tak punya harga diri dan bahkan lebih hina dari pengemis jalanan.

Ini tubuhku! Cabiklah. Walau darah menetes. Aku tak ingin terpisah dari nikmat yang kau tawarkan.

Pemahaman yang buta terlahir dari jiwa yang baru saja mendapatkan kesejukan dunia. Tak mengenali lagi fitrahnya sudah tak berharga. Mengemis memohon welas yang salah hingga dungu dan ambigu.

Ini cuaca yang sangat suram. Melihat perubahan begitu drastis. Seolah-olah ingin mendepaknya selekas mungkin dan segera berlayar menuju ruang yang lainnya, tanpa memikirkan betapa hati lain begitu tersiksa akibat ulahnya. Setidaknya itulah ringkasan dari kisahnya. Tetapi saat kartu-kartu muncul kepermukaan, dia tak menemukan hal lainnya. Bahkan pemikiran salahnya benar-benar tanpa logika. Cemburu bukan pada tempat yang seharusnya. 

Kembali dia menghela napasnya. Butiran bening jatuh tiba-tiba sepersekian detik tubuh itu terjatuh tak sadarkah diri. Untung saja hewan piaraan yang sangat setia itu memanggil pertolongan dari luar untuknya.

Diamlah sejenak! Di sana
terlalu rancu puisi cinta kita
bisumu adalah retak kronisku
patah seketika sebelum rindu kusunting
malam menabur sayap pekatnya
menyetubuhi gigil dalam kecewa yang tak bisa di raba
getir merayu untuk bingung
ketika hamparan nebula menguasai Langit
ini tumbangku dengan kangen yang ganjen
dan kaubatalkan
tanpa pemahaman logis.

Sudahlah! Menyantapnya perlahan
di sebaris kenangan 
pada bibir senyuman maut
menbawa kealpaan gerhana.

Nyawanya selamat. Tetapi tubuhnya semakin lemah dan tidak berdaya. Cairan infus terus saja dipasang hingga dia mulai jenuh dan melepaskannya sendiri. Dokter hanya menasehati, panjang lebar tanpa diperdulikan. Baginya hidup adalah tentang bagaimana menikmati musim. Dan untuk musim kali ini, dia hanya ingin bersetubuh dengan hati dan pikiran busuk untuk mencari solusi terbaik.

Akhirnya dengan melewati masa panjang dan kesulitan tingkat tertinggi, dia mampu menguasai pemikiran busuk dan menggantinya dengan sel-sel tubuh yang begitu penuh semangat.

Rindu adalah sengketa
benak beranjak; mati hologram
kemudian bertanya dalam hati
adakah sedikit kenangan di batu mimpi yang membuatmu berkabut? Entahlah
kulihat tawamu semakin keras
dan aku kalah; lelah
sebakipun tak membuat kenyang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline