Lihat ke Halaman Asli

Ade Kumalasari

Student at Goethe Universität

Mas Menteri, Tolong Kampanyekan Membaca untuk Kesenangan

Diperbarui: 5 Desember 2019   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu anak di Dusun Tangga, Desa Selengen, Lombok Utara tampak membaca buku yang baru didapatnya.(KOMPAS.com/ Karnia Septia)

Kemarin (3/12) hasil dari PISA (Programme for International Student Assesment) 2018 dirilis. Saya tidak ingin mengomentari ranking Indonesia seperti yang ditulis para wartawan *sigh. Tapi mari kita lihat hasil anak-anak kita di bidang literasi. 

Dari murid-murid usia 15 tahun yang disurvei PISA, hanya 30% yang memenuhi kompetensi minimal membaca. Tujuh puluh persen sisanya masih di bawah kompetensi minimal. 

Skor 'membaca' kita 371, turun 26 poin dibanding 3 tahun lalu (2015). Dari tahun 2000, skor membaca kita sempat naik, tapi hasil 2018 ini turun lagi, menjadi sama dengan skor delapan belas tahun yang lalu.

Bagusnya, kali ini Mas Menteri mau mengakui hasil jeblok ini. "Penurunan signifikan dalam skor literasi membaca siswa kita ini tidak perlu ditutupi, tidak perlu dibungkus seolah tidak terlalu buruk. Kita harus akui dan lebih serius mencari solusinya. Bukan hanya guru, tapi juga orangtua."

Siap, Mas. Saya jadi merasa terpanggil.

Tapi sebenarnya, mengapa tingkat literasi kita rendah? Apakah murid-murid kita tidak bisa membaca? Sepertinya bukan, anak-anak kita sebelum masuk SD pun sudah bisa membaca. Tentu saja yang dimaksud adalah membunyikan huruf-huruf yang tertulis.

Mungkinkah siswa-siswa kita bisa membaca, tapi tidak paham apa yang dibaca? Bisa jadi.

Mungkinkah mereka bisa membaca, tapi tidak menganggap membaca itu menyenangkan? Mudah capek kalau membaca naskah yang panjang?

Membaca untuk mengisi waktu luang. (Foto Pribadi)

***

Anak saya yang kedua, Ayesha, baru bisa membaca bahasa Indonesia di akhir kelas 1 SD, di usia tujuh tahun. Ini hitungannya sangat terlambat dibanding teman-teman sebayanya. 

Tapi saya tidak khawatir, karena selain waktu itu Ayesha memang penutur dwi bahasa (sehingga perkembangan bahasa masing-masing lebih lambat), juga karena saya yakin yang lebih penting daripada BISA membaca adalah SUKA membaca. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline