Isu kemiskinan petani di Indonesia bukanlah hal baru. Banyak pihak berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian, terutama terkait harga hasil panen dan biaya produksi, membuat petani sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Salah satu permasalahan utama adalah bagaimana harga gabah yang telah dipatok pemerintah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sering tidak sesuai dengan biaya produksi yang terus meningkat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, "Apakah petani di Indonesia dipaksa miskin?"
Pemerintah menetapkan HPP gabah sebagai upaya menjaga stabilitas harga pangan. Namun, kebijakan ini sering dianggap kurang berpihak kepada petani kecil. HPP sering kali tidak mencerminkan biaya yang dikeluarkan petani, terutama dengan kenaikan harga pupuk dan kebutuhan pertanian lainnya. Akibatnya, petani terjebak dalam situasi di mana pendapatan mereka tidak cukup untuk menutupi biaya tanam.
Salah satu tantangan terbesar petani adalah biaya pupuk. Pupuk NPK, yang dikenal sangat efektif untuk meningkatkan hasil panen, memang sudah diproduksi di Indonesia. Namun, bahan bakunya seperti Kalium dan Fosfat masih diimpor.
Indonesia mengimpor sebagian besar Kalium dari Rusia, salah satu produsen utama di dunia. Ketika terjadi konflik, seperti perang Rusia-Ukraina, pasokan Kalium menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan kelangkaan bahan baku, yang pada akhirnya membuat harga pupuk melonjak.
Kenaikan harga pupuk ini tidak diimbangi dengan kenaikan harga gabah. Petani harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk pupuk, sementara pendapatan mereka stagnan karena harga jual hasil panen tetap dipatok oleh pemerintah. Akibatnya, margin keuntungan petani semakin kecil.
Kenaikan harga beras selalu menjadi isu sensitif di Indonesia. Sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat, perubahan harga beras memengaruhi banyak aspek, mulai dari daya beli masyarakat hingga stabilitas sosial dan politik. Salah satu momen bersejarah yang menunjukkan dampak besar kenaikan harga beras adalah krisis moneter tahun 1998.
Pada tahun 1998, harga beras melonjak hingga 200%-300% akibat melemahnya nilai tukar rupiah, yang menyebabkan krisis ekonomi besar-besaran. Harga beras yang sebelumnya hanya Rp1.000--Rp1.500 per kilogram naik menjadi Rp3.000--Rp5.000 per kilogram. Lonjakan ini memukul daya beli masyarakat yang sudah terpuruk akibat inflasi tinggi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Krisis ekonomi ini tidak hanya memicu penderitaan ekonomi tetapi juga keresahan sosial. Demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh mahalnya harga kebutuhan pokok, termasuk beras, menjadi salah satu faktor yang mempercepat lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Momen ini menunjukkan bagaimana kenaikan harga beras bisa menjadi pemicu ketidakstabilan nasional.
Pasca-krisis, pemerintah Indonesia berusaha keras menjaga agar harga beras tetap stabil dan terjangkau. Namun, kebijakan ini sering kali dilakukan dengan mengorbankan kesejahteraan petani. Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras, yang sering tidak sebanding dengan biaya produksi. Selain itu, impor beras kerap dilakukan untuk menekan harga pasar, yang berujung pada jatuhnya harga beras lokal dan merugikan petani.
Ironisnya, meskipun kenaikan harga beras seharusnya memberikan keuntungan bagi petani, kenyataannya banyak petani tidak menikmati hasil tersebut. Mereka sering kali terjebak dalam sistem distribusi yang didominasi oleh tengkulak, di mana hasil panen dijual dengan harga murah jauh sebelum sampai ke pasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H