Politik “Mobil Mogok”
Oleh Ade Jahran
Penulis sengaja memilih judul tulisan seperti yang di atas itu. Momennya tepat karena sebentar lagi pemilihan anggota legislatif (pileg) 2014 yang dilanjutkan dengan pemilihan presiden untuk memimpin negara kita lima tahun ke depan. Hiruk-pikuk pesta demokrasi lima tahunan sudah terasa. Di berbagai sudut, para caleg dan kandidat capres tersenyum lebar terpampang di berbagai alat peraga, baik stiker, baliho maupun spanduk.
Gaya dan senyum calon wakil rakyat sengaja diciptakan untuk mendapatkan simpatik masyarakat, dengan harapan memperoleh suara terbanyak. Tetapi perlu disadari bahwa dalam setiap perlombaan, ada yang kalah dan ada yang menang. Tak mungkin menang semuanya. Apalagi kapasitas gedung wakil rakyat itu amat terbatas. Jadi bersiaplah jadi juara, juga harus legowo ketika kalah.
Para caleg dengan kemampuan yang dimiliki terus bergerilya ke berbagai peloksok kampung menawarkan madu dan menjanjikan gula. Tak ada yang menawarkan pahitnya obat. Semua yang dijual itu sirup nomor satu. Dengan berbagai relasi dan jaringan, para caleg mendekati rakyat. Yang semula cuek bebek terhadap permasalahan warga, kini mulai bersuara tentang kemiskinan dan kemakmuran rakyat. Pemberantasan korupsi, kesehatan dan pendidikan menjadi topik setiap kali caleg turun ke lapangan. Sungguh manis sekali janji itu. Dan janji-janji itu muncul lima tahun sekali menjelang pileg.
Berbagai latar belakang para caleg tumplek mengisi ruang sudut di perkampungan, nempel di tiang listrik, terpampang di bentangan jalan, bahkan di kamar toilet sarana umum pun menjadi sasaran caleg. Mereka ada yang memiliki latar belakang ulama, pengusaha, mantan birokrat, politisi, akademisi, LSM, wartawan, aktivis, dan lain-lain. Mereka berebut kursi dan tak jarang saling menjatuhkan sesama teman maupun partai politik. Yang penting bagaimana caranya mereka menang dan duduk menjadi wakil rakyat.
Bahkan tak sedikit yang dulu menjadi aktivis dan mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi ketika menjadi caleg dari partai penguasa maka aktivis itu pun diam seribu bahasa. Bahkan dia dijadikan caleg oleh partai tersebut. Ada sejumlah kemungkinan tentang caleg seperti ini. Pertama caleg itu tergiur materi dan rela menggadaikan idealisme. Kedua di situlah kehebatan partai dalam menggaet orang-orang yang ‘berkualitas’ untuk menyodok suara. Aktivis itu dijadikan tameng dalam memperoleh kekuasaan.
Mungkin yang ada dipikiran dan benak para caleg saat ini bagaimana memperoleh suara sebanyak-banyaknya dan duduk di kursi legislatif, tanpa memikirkan bagaimana memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Saat ini akan sulit terpilih jadi wakil rakyat tanpa kekuasaan dan uang. Apalagi masyarakat masih pragmatis. Bahkan bisa jadi oleh sebagian warga, ‘lahan’ ini dijadikan sebagai objek usaha. Misalnya dengan mencari uang ke caleg si A, si B dan seterusnya. Soal nanti nyoblos siapa, itu urusan di bilik TPS.
Umbar janji para caleg itu terus dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang menggelar turnamen olahraga, pengajian rutin, bantuan keuangan, tak ketinggalan memberikan santunan kepada panti asuhan, anak yatim mapun sarana ibadah. Ada juga yang secara gamblang meminta dukungan, ada yang malu-malu, ada juga hanya dengan bahasa isyarat saja. Tetapi apapun itu, intinya cari dukungan. Bahkan tak segan-segan para caleg meminta proposal kepada warga dan berjanji akan membantu apa yang dibutuhkan warga itu. Tetapi tentunya tak ada makan siang yang gratis.
Semua itu memiliki tujuan untuk melanggengkan politik mereka. Karena secara harfiah politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Jadi Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional (wikipedia).
Biasanya politik di negara kita masih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan kepentingan masyarakat pada umumnya. Para elit politik, tak ada –mungkin hanya sedikit-yang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Padahal pendidikan politik itu penting dalam alam demokrasi. Jadi ketika kampanye atau melakukan sosialisasi maka sangat sedikit sekali yang memberikan pendidikan politik.
MOBIL MOGOK
Jadi tak heran ketika caleg itu resmi dilantik jadi wakil rakyat maka berbagai keinginanpun muncul. Mulai untuk mengembalikan modal yang habis saat kampanye maupun untuk memiliki kekayaan secara berlebihan.Membeli mobil lebih dari satu, maupun harta benda lainnya. Bargainingpun dilakukan dengan sejumlah kalangan, termasuk eksekutif.
Bagi wakil rakyat yang telah mengeluarkan uang dengan jumlah cukup besar, sedikit demi sedikit mulai meninggalkan konstituennya. Sekarang sibuk dengan kegiatan rutinitas di lembaga legislatif. Tak peduli apa keinginan rakyat.
Bila saat kampanye para caleg mendatangi perkampungan dan peloksok, tetapi setelah jadi wakil rakyat, jangankan mendatangi perkampungan, didatangi oleh konstituen juga malah menghilang, tak mau menemui dengan alasan sibuk, rapat maupun kunjungan kerja.
Makanya muncul istilah “Politik Mobil Mogok” di kalangan para elite bangsa ini. Artinya ketika dia butuh bantuan atau istilahnya mobilnya mogok maka dengan setengah menangis, memelas, dan merengek meminta bantuan, tetapi begitu mobilnya sudah jalan atau mesinnya sudah menyala maka orang yang diminta bantuan itu ditinggalkan begitu saja. Yang lebih tragis adalah sopir mobil itu tak menengok ke belakang, apalagi mengucapkan terimakasih. Yang ada tancap gas ngacir.
Itulah fenomena yang terjadi di kalangan wakil rakyat kita saat ini. Seharusnya, selain memperjuangkan konstituennya, para politikus juga harus memerhatikan rakyat secara umum. Bahkan seharusnya para elite tak lagi memerjuangkan sekelompok orang tertentu saja, tetapi ketika duduk di kursi Dewan maka dia sudah milik semua masyarakat. Jadi yang diperjuangkan bukan kelompoknya saja tetapi semuanya, meski memang sangat sulit melakukan hal ini. Lepaskan baju partai apapun ketika jadi wakil rakyat. Tak ada warna-warni dalam lembaga legislatif, yang ada satu warna yakni memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H