Matahari belum tinggi berarti belum terlambat berangkat kerja. Walaupun dua hari libur, tetap saja di hari Sabtu ada kewajiban berangkat kerja. Ah, masih ada waktu 5 menit untuk mengeluarkan kendaraan roda dua. Hanya saja sebelum rencana terwujud dari kejauhan terdengar teriakan khas, Abah pemikul keranjang berisi singkong.
"Silakan Ibu, ini singkongnya baru dipetik. Dijamin enak dan "mempur" celotehnya dengan lancar.
Tak berpikir panjang membungkus satu kilo dirasa cukup untuk bahan kudapan malam minggu. Tak perlu banyak-banyak soalnya yang suka hanya berdua. Anak-anak sudah diperkirakan hanya memandang saja. Mereka lebih suka menikmati sajian kekinian. Kalau kami lebih memilih makanan yang bisa menjembatani kemunculan kenangan masa kecil sewaktu masih di desa.
Di benak terbersit rasa khawatir suatu saat nanti kudapan tradisional hanya tinggal cerita. Padahal jika diolah dengan teknik kekinian bisa direkayasa menjadi makanan unik dan menarik. Waktu saya masih kecil dan di desa, singkong dan ubi hanya diolah dengan cara:
1. Di rebus, menjadi sajian sederhana dan cepat dinikmati. Hanya di masukan ke dalam panci, tak menunggu lama bisa langsung dimakan. Nenek saya dulu, terkadang mengolah singkong rebus ditumbuk lalu ditambah gula merah menjelmalah makanan dengan nama "getuk lindri". Atau kalau ada sisa semalam, singkong rebus tersebut diiris tipis lalu dijemur sampai kering kemudian di goreng menjadi kudapan "mangleng". Oh, iya "mangleng" bisa berasa asin dan manis lho. Semua tergantung selera. Kalau ingin manis tinggal ditambahkan gula merah yang sudah dipanaskan. Nanti gulanya akan menempel di permukaan "mangleng" tersebut. Pokoknya enak dan menjadi cemilan unik.
2. Digoreng, mudah juga mengolahnya. Setelah dikupas lalu dipotong dan dibaluri garam sedikit kemudian digoreng menggunakan minyak "kletik" jadilah singkong balokan.
3. Dikukus menggunakan dandang atau panci. Sebelumnya di iris atau digangsor kasar. Setelah matang ditaburi garam dan kelapa parut. Nyam...nyam enak dan empuk.
4. Diparut, inilah kudapan yang masih eksis sampai saat ini. Panganan dengan nama comro, misro bahkan diolah jadi kicimpring. Disantap bersama kopi dan teh panas saat menjelang malam menambah hangat suasana malam Minggu.
5. Dibakar di perapian. Ini cara mengolah yang hanya dilakukan oleh orang desa yang memiliki "hawu/tungku" berkayu bakar. Masih teringat kenangan saat nenek sedang memasak nasi di hawu sekalian membakar singkong. Caranya singkong dimasukkan ke abu panas di tungku perapian. Setelah beberapa lama diangkat dan disajikan. Supaya nikmat ditaburkan gula aren menambah kenangan bermunculan dan tak sadar ingin menikmatinya kembali tapi susah menemukan peristiwa tersebut untuk kembali.
Apalagi dinikmati saat hujan di sore hari, sambil mendengarkan dongeng menambah syahdu dan romantis sekali.. Hari ini hanya mampu menikmati singkong dan ubi kukus. Sedangkan untaian kenangan bermunculan mengajak angan kembali menelusuri lorong kisah masa kecil.
KBB, 11052024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H