Lihat ke Halaman Asli

Ade Irma Mulyati

SDN Jaya Giri Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat

Tungku Masak dalam Kenangan

Diperbarui: 24 November 2022   16:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pri

Masihkah anak-anak sekarang mengenal tungku perapian? Sepertinya ada keraguan bagi saya untuk menyimpulkan bahwa mereka tahu apa, dan bagaimana cara penggunaan tungku perapian. Ah, mungkin bentuk nyatanya mereka belum mengenal. Soalnya di rumah mereka tidak ditemukan. Jangan disalahkan jika di saat sekarang mereka tidak paham. Padahal saat saya kecil tungku masak begitu kental, kenangan yang berhasil digoreskan tatkala menjadi andalan untuk melakukan proses masak makanan. Kenangan tersebut terutama dalam pemanfaatan tunggu untuk kebutuhan sehari-hari, yakni:

  • Untuk menggoreng, menumis, mengukus, membakar bahkan sebuah trik mengubur makanan yang sudah dibungkus daun pisang dengan abu panas menjadi andalan. 
  • Menghangatkan badan (siduru).
  • Mendapatkan arang kayu bakar untuk menyetrika baju.
  • Memanfaatkan abu hasil pembakaran untuk berbagai keperluan seperti: untuk penggosok wajan yang hitam,  pupuk tanaman, obat rendaman saat kaki gatal akibat ada kuman dari sawah atau kolam.
  • Mengolah makanan tanpa menggunakan minyak, misalnya: membakar ubi, singkong, ikan, bahkan menyate. 

Di daerah Jawa Barat, tungku masak lebih mengenal dengan nama "hawu", terbuat dari tanah yang sudah diayak dicampur dengan sabut kelapa. Tungku masak ditempatkan di dapur beralaskan langsung dengan tanah. Biasanya di bagian atas tunggu sengaja dibuatkan tempat penyimpanan kayu bakar. Ada manfaat kayu bakar disimpan di atasnya, yakni agar terpanaskan oleh asap yang keluar dari sela-sela tungku. Setiap saat membakar tungku maka kayu bakar akan semakin kering. Hal ini memudahkan penggunaannya. Semakin kering kayu bakar maka nyala api semakin besar.

Kayu bakar yang banyak digunakan seperti pelepah pohon kelapa (blukeng), daun pohon kelapa (klari), bagian pinggir sisa gergajian (blahbir), bahkan ranting kecil serta bambu bekas kandang ayam yang sudah tidak terpakai atau sabut/batok kelapa. 

Sebelum tungku masak benar-benar hilang, sebelumnya terjadi pergeseran dengan penggunaan kompor minyak tanah. Masyarakat baik di kota maupun di desa mulai melupakan tungku masak. Hal ini dikarenakan:

  • Kayu bakar sulit didapatkan, imbas dari beralih fungsinya hutan/kebun warga menjadi lahan pemukiman. Kalau pun masih ada yang tersisa hanya sebagian kecil saja yang masih menggunakan tungku/kayu bakar.
  • Tungku terkesan kotor karena ada limbah berupa abu. Semakin banyak kayu yang dibakar maka abu yang dihasilkan semakin melimpah. Sepertinya belum ada pemanfaatan limbah berupa abu menjadi bentuk lain sebagai karya inovasi di bidang teknologi.
  • Dinding dapur menjadi hitam terkena asap. Kita tahu asap dari tungku mengepul ke segala arah. Kalau kena baju akan menimbulkan aroma sangit. Imbasnya lama kelamaan dinding akan menjadi hitam legam jika tidak sering di cat.

Oh, Iya lupa. Posisi tungku perapian sudah tergeser. Pada awalnya mulai diperkenalkan kompor minyak. Otomatis tungku mulai tersisih. Hal ini didukung oleh faktor kepraktisan dari penggunaan kompor minyak. Di masa perkembangannya keberadaan tungku perapian digeser kembali dengan maraknya penggunaan LPG/gas. Sekarang hampir seluruh lapisan masyarakat terbiasa menggunakan kompor gas, hanya sebagian kecil di pedesaan terlihat masih ada yang suka memikul kayu bakar. Memang  penggunaan kompor gas dan kompor listrik lebih praktis, serta dapur menjadi bersih. Sehingga penggunaan tungku berbahan kayu bakar hanya tinggal kenangan.

KBB, 24112022




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline