Lihat ke Halaman Asli

Ade Irawan

Penulis

Angan Kesejahteraan Petani Padi yang Terganjal Tengkulak

Diperbarui: 11 Desember 2024   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto petani di sawah (Sumber: Etienne Girardet, Unsplash)

Kesejahteraan petani merupakan salah satu hal yang sering digaungkan banyak pihak namun realisasinya terasa begitu sulit. Banyak upaya telah dilakukan seperti penyuluhan, pembuatan kebijakan, dan masih banyak lainnya. Kondisi pertanian di Indonesia memang memiliki tantangan yang begitu rumit. Tidak hanya dari sisi teknis seperti bagaimana cara meningkatkan produktivitas atau adaptasi teknologi terbaru, tapi juga dari sisi non-teknis, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi sosial-politik. Salah satu tantangan non-teknis yang sering terabaikan adalah keberadaan tengkulak yang justru menghambat upaya pencapaian kesejahteraan petani.

Tengkulak ibarat jamur yang muncul di area lembab tak terpapar sinar matahari. Mereka mengisi ruang kosong dalam rantai pasok pangan dan mengontrol harga hasil panen yang tidak menguntungkan petani. Untuk menghilangkan peran tengkulak dalam rantai pasok pangan, diperlukan upaya transformasi sektor pertanian yang menyeluruh, termasuk menghapuskan celah-celah yang memungkinkan tengkulak berkembang. Dari pengalaman pribadi sebagai petani padi di Kabupaten Pemalang, saya menyaksikan bagaimana petani masih sangat bergantung pada tengkulak sebagai satu-satunya cara cepat mendapatkan uang hasil panen.

Ketergantungan Petani Padi terhadap Tengkulak

Ketergantungan petani padi terhadap tengkulak berakar dari beberapa hal. Banyak petani yang menggarap pertanian skala kecil dan tidak memiliki modal yang cukup untuk mengolah hasil panen secara mandiri. Ditambah tingkat pendidikan petani yang rendah membuat mereka kesulitan mengelola proses panjang dari panen menjadi produk siap jual.

Memberi penyuluhan dan pelatihan agar petani memiliki kemampuan wirausaha atau bertani dengan pendekatan agribisnis tidak serta merta menjadi solusi bagi kesejahteraan petani. Motif bertani tiap individu sangat beragam. Misalnya, ada petani yang hanya menyewakan lahannya kepada penggarap tanpa terlibat langsung, dan ada pula penggarap yang sama sekali tidak memiliki sawah tetapi mengelola lahan orang lain dengan sistem bagi hasil. Kondisi ini mencerminkan kompleksitas sistem pertanian kita, di mana pendekatan agribisnis tidak selalu relevan.

Mengolah hasil panen menjadi produk akhir untuk dijual langsung ke pasar sering kali membutuhkan modal, waktu, dan keahlian yang tidak dimiliki oleh mayoritas petani kecil. Maka tidak heran jika menjual hasil panen pada tengkulak dianggap oleh petani sebagai sebuah cara instan yang paling masuk akal untuk dilakukan. Tengkulak menyediakan cara instan untuk mendapatkan uang dari hasil jerih payah bertanam padi, tanpa harus menghadapi tantangan yang lebih besar dalam distribusi dan pemasaran.

Sayangnya, hal ini dimanfaatkan oleh tengkulak untuk menyetir harga jual hasil panen dari petani. Dari pengalaman pribadi, tengkulak menentukan harga hanya dari menaksir luas garapan sawah dan kualitas padi selama musim tanam itu. Padahal jika dihitung berdasarkan HPP gabah yang ditentukan pemerintah, petani harusnya bisa mendapatkan penghasilan lebih dari yang ditawarkan tengkulak. Harga murah dari tengkulak masih harus dipotong ongkos produksi untuk membeli pupuk, bibit, dan pestisida, menjadikan keuntungan bersih yang didapat petani sangatlah kecil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian jika hanya bergantung pada pertanian.

Mewujudkan Kesejahteraan Petani tanpa Tengkulak

Kesejahteraan petani adalah isu yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Apalagi, seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa motif bertani tiap orang berbeda-beda, sehingga perlu didefinisikan terlebih dahulu makna petani kecil agar upaya dalam mewujudkan kesejahteraan mereka bisa lebih terukur, tidak hanya didasarkan pada ukuran statistik melalui Nilai Tukar Petani. Akan tetapi hal itu bisa menjadi bahasan dalam tulisan lain. Untuk artikel ini saya akan lebih menyoroti tentang tengkulak dalam pertanian padi berdasarkan pengamatan pribadi saya selama menjadi petani. Menurut saya, dengan menghilangkan tengkulak akan memantik transformasi pertanian secara keseluruhan. Rantai pasok pangan akan lebih ramping, dan tentunya penghasilan petani akan meningkat.

Ketergantungan petani pada tengkulak tidak terlepas dari isu lain seperti keterbatasan modal, pengetahuan, akses terhadap pasar, serta kebijakan yang kurang mendukung petani kecil. Oleh sebab itu, menghilangkan tengkulak perlu dimulai dengan pembentukan kelompok tani yang berdikari dengan nilai serikat, bukan hanya lembaga untuk mempermudah penyuluhan pemerintah.

Selama ini kelompok tani hanyalah sebuah lembaga yang digunakan untuk mempermudah kegiatan pemerintah terhadap petani. Syahyuti, dalam tulisannya berjudul Pemahaman Terhadap Petani Kecil Sebagai Landasan Kebijakan Pembangunan Pertanian membahas bahwa petani kecil juga memiliki hak dalam berorganisasi. Ia mengatakan bahwa selama ini pendekatan yang dilakukan dalam membentuk kelompok tani kurang memberi kematangan proses dan menyebabkan tidak berkembangnya kultur organisasi, melainkan kultur pragmatis dengan ciri lebih mengutamakan kepuasan pihak-pihak lain, dalam hal ini pemerintah, dibandingkan kebutuhan sendiri (Syahyuti, 2013).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline