Lihat ke Halaman Asli

ADE IMAM JULIPAR

AutoCAD Trainer

Petruk Jadi Raja

Diperbarui: 6 Agustus 2018   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://d4kkjbdylolb0.cloudfront.net/upload/media/posts/2018-06/24/petruk-5m-simbol-kecerdasan-dan-kearifan-dzcQOVd_1529854199-b.jpg

Oleh: Ade Imam Julipar

05-08-18

Banyak artis yang terjun ke dunia politik. Baik atas kemauan sendiri maupun dipinang oleh partai. Mereka masuk salah satu partai, kemudian mencalonkan diri: baik menjadi calon kepala daerah maupun calon legislatif. Yang pasti dua-duanya adalah jabatan publik yang diperoleh melalui politik praktis.

 Ini kabar burung yang saya dengar. Bukan hanya pada pemilu sekarang saja. Di pemilu-pemilu sebelumnya pun kerap terdengar dan terjadi. Sebagian dari mereka mendapat suara, dan melenggang menjadi anggota dewan atau kepala daerah. Sebagian lagi kalah, kembali menjadi artis seperti biasa. Atau bahkan sama sekali banting stir: berubah profesi.

Bicara partai politik adalah bicara massa. Bicara pendukung. Tanpa massa,  partai politik akan tergerus. Dan ini diperkuat oleh undang-undang yang ada. Kalau tidak memperoleh sekian persen suara, maka partai dilikuidasi. Harus tutup buku.

Kekhawatiran inilah yang menjadi pokok pangkal kenapa partai mengeluarkan strategi mencari para pendulang suara. Dan pilihannya jatuh pada: Artis. Artis diyakini bisa menggemukan kantong-kantong suara mereka. Yang pada gilirannya target untuk menduduki jabatan politis pun akan mudah terengkuh.

Artis merupakan seseorang yang sudah dikenal masyarakat. Mereka terbiasa berlalu lalang di media massa. Ibarat sebuah barang dagangan, artis adalah produk yang sudah branded. Jadi, toko hanya tinggal memajangnya di etalase, para pembeli pun tanpa disuruh akan dengan senang hati membelinya. Inilah logika yang dipakai para petinggi partai. Juga artis itu sendiri. Ada tercium pragmatisme disana.

Mereka akan dengan mudah meraup suara dibanding yang lain, walaupun yang lainnya ini memang berkecimpung di wilayah politik. Karena nama mereka sudah akrab di telinga masyarakat. Berbeda dengan seorang calon yang bukan berasal dari kalangan artis. Mereka harus bersusah payah melakukan sosialisasi agar nama mereka dikenal. Dan ini tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Memang tidak ada yang salah ketika seorang artis ada di dunia politik. Yang menjadi persoalan adalah apakah kapabilitas si artis itu sudah mencukupi? Jika jawabannya: Ya, maka tidak ada yang salah dengan ini. Sudah terkenal, juga mempunyai kemampuan di bidang politik. Persoalan selesai.

Atau mungkin yang terjadi adalah  hanya sekadar memanfaatkan namanya saja untuk meraup suara? Jika seperti yang disebut belakangan kenyataannya, ini yang menjadi masalah besar. Yang rugi adalah masyarakat yang sudah memilihnya. Dan bukan hanya pemilihnya, tetapi masyarakat yang tidak memilihnya pun akan terkena imbasnya. Karena kalau sudah jadi, mau tidak mau, dia akan mewakili daerah dimana dia mencalonkan.

Memang sebuah dilema. Di satu sisi, ketika masyarakat memilih artis, mereka sudah mengenal siapa yang dipilihnya. Dan di sisi lain, masyarakat pasti tidak mau memilih orang yang bukan artis, karena mereka tidak kenal, walaupun orang tersebut mungkin saja seseorang yang bisa menyuarakan suara mereka. Mungkin  kita masih ingat petuah Kakek kita yang mengatakan: Tak kenal maka tak sayang. Ya, bagaimana kita mau memilih seseorang jika kita tidak kenal. Tetapi siapa yang menjamin?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline