Lihat ke Halaman Asli

ADE IMAM JULIPAR

AutoCAD Trainer

Sebuah Kutukan untuk Para Penulis

Diperbarui: 25 Desember 2017   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada Cangkang Ada isi. Dokumentasi pribadi

Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi penulis, bersamaan dengan itu, jatuh pula kutukan atasnya. Kutukan itu sebuah ketidakbebasan berpikir. Hanya ada dua dalam pikirannya. Yang pertama: menulis. Dan pikiran kedua: Ketika dia tidak menulis, dia akan berpikir tentang menulis.

Apapun yang ter-indera-i olehnya, itu akan menjadi bahan tulisan. Sehingga kepekaan akan realitas pun, secara tidak sadar, akan muncul. Dan itu pada tingkat daya serap yang lebih tinggi daripada sebelum menjadi penulis. Memang kita tidak bisa menutup mata, ketika sebelum memutuskan menjadi penulis, kepekaan itu ada. Tapi pada tingkat yang lebih rendah. Berbeda dengan kepekaan seorang penulis.

Seorang penulis tidak hanya bisa melihat sesuatu dari cangkangnya saja. Lebih dari itu. Ia dapat menerabas masuk ke dalam sesuatu di belakang realitas yang di-inderai- nya. Ia bisa membaui hakikat dibalik sesuatu. Kemampuan ini muncul karena tuntutan dari sebuah tulisan yang dibuatnya. Tidak cukup sebuah tulisan hanya menggambarkan sebuah realitas. Dia akan bergerak lebih jauh. Mengungkap dan menyingkap hal tersembunyi dalam sebuah realitas. Yang pada gilirannya, hasil ungkapan dan singkapan itu ia suguhkan kepada pembaca tulisannya sebagai tangkapan pemahaman terhadap realitas tersebut.

Lima Buku Hasil Tangkapan Realitas

Adapun pemahaman realitas yang berhasil dia tangkap ternyata tidak linear dengan pemikiran yang ada, itu soal lain. Sekali lagi bisa dikatakan: selama itu belum ada bantahan, tangkapan realitas itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Sampai suatu saat tiba masanya tangkapan realitas itu menjadi tidak benar lagi. Karena munculnya sebuah bantahan yang lebih kuat ---baik secara logika maupun pembuktian ilmiah lainnya.

Tugas kepenulisan memang tidaklah mudah. Selain tuntutan fungsi sosial yang diidap, dalam dirinya sendiri sudah terkena kutukan. Hanya menulis dan berpikir tentang menulis.  

Mungkin ada beberapa di antara orang yang membantah. Ah, tidak seperti itu ceritanya. Bantahan ini muncul dari penulis yang hanya menulis dari cangkang realitasnya saja. Bukan dari isinya. Harus ditarik garis tegas: mana cangkang dan mana isi.

Karena menulis hanya berkutat pada cangkang saja, kita akan mudah tergelincir pada machiavellisme kepenulisan. Sebuah ungkapan baru memang. Yang pengertiannya kurang lebih: yang penting menjadi tulisan, tanpa harus menguji isi dari tulisan. Bukankah itu senada dengan: tujuan menghalalkan cara?

Machiavellisme kepenulisan dalam bentuk lain yaitu: menulis tentang menulis. Jadi, isi dari tulisan itu tentang menulis. Apakah ini tidak seperti ber-masturbasi?  Memang hal ini bukanlah sebuah kejahatan.

Sejatinya sebuah tulisan mengandung unsur keduanya. Ada cangkang dan ada isi. Mungkin ini lebih pada idealisme seorang penulis. Tapi harusnya memang seperti itu. Jadi tidak ada yang dikorbankan atau terkorbankan. Sehingga kutukan penulis pun akan bisa dijalani dengan semestinya. Kutukan yang mengkerangkeng pikiran hanya pada dua aktivitas: menulis dan berpikir tentang menulis.

Salam dari Benteng Betawi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline