Lihat ke Halaman Asli

Ade Hidayat

Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Resensi Buku: Malaikat Jatuh

Diperbarui: 7 Desember 2021   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover Buku Malaikat Jatuh (Dokpri)

Kumpulan cerpen karya Clara Ng yang diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2017 ini mengajak para pembaca menjajaki dimensi batin yang lain dari hubungan ibu-anak---sesuatu yang sungguh sakral dan suci. Dikatakan lain karena---jika biasanya hubungan ibu-anak berkonotasi pada romantisme, kedamaian, kebahagiaan, keceriaan; singkatnya, segala kondisi psikologis yang memberikan kesan manis---cerita-cerita dalam buku ini secara imajinatif menyelami pahit-getir hubungan itu. Buku ini berkisah mengenai cinta ibu-anak yang penuh darah.

Dibuka dengan cerpen yang menjadi judul utama buku ini: Malaikat Jatuh, pembaca langsung dibawa masuk ke dalam dunia imajinatif pengarang yang dilematis, kelam, muram, serta dipenuhi air mata dan darah. Manna dan Mae, dua tokoh utama dalam cerita ini, menjalani lakon ibu-anak yang getir. Mereka berdua dikutuk karena mengambil sesuatu yang bukan miliknya: jantung dan darah manusia bersayap.

Manusia bersayap adalah makhluk terberkati, yang hidup di ketinggian pegunungan Teatimus. Orang biasa yang memakan jantung manusia bersayap, konon akan mendapatkan keabadian. Orang itu tidak akan mati. Karena keabadian itu, mereka yang terus hidup merupakan yang paling sering merasakan kehilangan. Karena itulah, sejatinya, keabadian merupakan kutukan. Itulah yang dialami Manna, ibu yang dikutuk untuk hidup abadi.

Manna, perempuan yang usianya lebih tujuh ratus lima puluh tahun, telah sekian kali mengalami kehilangan. Berkali-kali Manna mengalami pahitnya kehilangan suami, anak, keluarga, atau sahabat. Berkabung, mengantar mereka ke pemakaman. Manna jenuh dengan semua itu. Dia tidak mau lagi kehilangan. Tetapi, rupanya lagi, Manna dihadapkan oleh satu kenyataan yang mengancam akan merenggut orang yang dia cintai. Mae, anaknya, terancam mati karena mengidap virus yang pernah membunuh suaminya beberapa waktu lalu.

Diyakini, tidak ada yang dapat mengobati penyakit Mae kecuali manusia bersayap. Itulah yang membuat Manna pada akhirnya memberikan darah Beppu (manusia bersayap yang cacat dan terdampar di bumi karena hanya memiliki satu sayap) kepada anaknya, Mae. Karena rasa cintanya dan perasaan takut kehilangan (lagi!), Manna tidak peduli pada risiko yang akan diterima anaknya kelak, jika meminum darah manusia bersayap.

Dan, benar saja. Malapetaka pun dimulai di sini.

Berbeda dengan memakan jantungnya yang dapat memberikan kutukan berupa keabadian, meminum darah manusia bersayap akan mengutuk manusia menjadi buas. Manusia yang meminum darah manusia bersayap akan menjadi makhluk yang haus darah. Tak butuh waktu lama, Mae pun mendapatkan kutukan itu, dan berubah menjadi anak kecil yang haus darah. Satu malam setelah meminum darah itu, bocah kecul itu membunuh tetangganya: sepasang suami isteri beserta bayinya dengan menggigit tenggorokan mereka dan menghisap darahnya. Mae sendiri tidak sadar melakukan perbuatan mengerikan itu. Dia telah dikutuk. Mae menderita.

Hanya ada satu cara untuk melepaskan kutukan dari tubuh Mae, yaitu dengan membakarnya. Manna harus merelakan anak gadis mungilnya itu menemui ajalnya, atau dia akan terus menderita karena kutukan itu. Lagi-lagi, Manna harus berhadapan dengan pedihnya kehilangan. Untuk mengatasi itu, pada akhirnya Manna mendekap Mae lalu menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar dari kebakaran gudang malam itu.

Pada cerpen kedua, yang berjudul Negeri Debu, pembaca diajak menyelami pahit-getir hubungan ibu-anak melalui kisah nelangsa seorang anak pelacur (yang menjual diri untuk menghidup anaknya) pengidap sinus yang menjadikan kolong ranjang sebagai negeri imajinatifnya. Lucinda nama anak itu, memiliki teman imajinatif bernama Polo yang mengenalkannya Negeri Debu---negeri di mana dia bebas menciptakan kebahagiaan, termasuk Bunda Debu, yang bisa menyediakan kasih sayang yang tak didapatkannya dari ibunya yang asli.

Lucinda sangat kerasaan berada di Dunia Debu, sebab di sanalah dia mendapatkan teman dan perhatian---yang selama ini dia impi-impikan ada pada ibunya. Karena telah sepenuhnya tenggelam dalam Dunia Debu, apapun yang terjadi di kamar dan di atas ranjang, anak kecil itu tidak pernah tahu. Hingga pada akhir cerita, anak malang itu harus menerima kenyataan bahwa di atas ranjang, ibunya mati dibunuh oleh lelaki yang entah siapa. Semua sudah terlambat setelah polisi mengeluarkannya dari kolong ranjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline