Masjid merupakan sarana ibadah yang disucikan oleh umat Islam. Umat Islam menjaga kesucian masjid dan menghormatinya sedemikian rupa. Adab-adab seperti batasan bagi perempuan haid untuk memasuki masjid, bersuci dan berdoa sebelum memasuki masjid, serta mendirikan shalat sunnah sesaat setelah berada di dalamnya, terus diamalkan oleh umat Islam hingga saat ini.
Dikutip dari buku Panduan Memakmurkan Masjid, pada perkembangan awalnya, fungsi masjid tidak terbatas pada hal-hal peribadatan yang berdimensi habluminallah saja. Masjid, pada masa Rasulullah Saw. juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah; tempat perlindungan; sebagai rumah sakit; basis militer; lembaga pendidikan; serta kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya (Yani, 2018). Dapat dikatakan, pada masa Rasulullah masjid merupakan jantung kegiatan umat Islam, baik yang bersifat peribadatan, maupun sosial kemasyarakatan.
Kenyataan masjid sebagai pusat aktivitas sosial umat Islam, mendorong seluruh lapisan masyarakat--baik muda maupun tua--terlibat di dalamnya. Tak terkecuali anak-anak kecil. Anggota masyarakat yang satu ini memang kerap terlibat dan menjadi pemanis dalam hubungan sosial antar masyarakat.
Namun dalam konteks masjid, keberadaan anak -anak kecil kerap menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian kalangan "membatasi" (kalau bukan melarang) anak-anak kecil beraktivitas di dalam masjid, sementara sebagian yang lain memberikan anak-anak ruang yang cukup luas.
Kalangan yang pertama membatasi dengan beberapa alasan. Pertama, anak-anak yang belum aqil baligh, belum diwajibkan untuk shalat. Selain itu, mereka juga dinilai belum bisa menjaga kesucian diri dari najis. Sehingga ada kekhawatiran anak-anak tersebut membawa najis ke dalam masjid, yang pada akhirnya dapat mengotori masjid dengan najis tersebut.
Kedua, anak-anak yang belum aqil baligh berpotensi mengganggu jamaah sehingga dapat mengurangi kekhusyukan shalat para jamaah. Hal tersebut tentu dapat mengganggu jalannya ibadah dan harapan jamaah, dimana para jamaah menginginkan nikmatnya khusyuk dalam beribadah.
Sementara itu, kalangan yang memberikan ruang yang cukup luas pada anak-anak kecil di dalam masjid pun memiliki beberapa alasan.
Pertama, sebagai bentuk syiar kepada anak-anak. Kalangan ini berpendapat bahwa anak-anak harus didekatkan dengan masjid sejak dini, agar hati mereka senantiasa terpaut pada masjid hingga dewasa. Membatasi, melarang, apalagi memarahi anak-anak, bisa menyebabkan mereka jauh dari masjid.
Kedua, sebagai bentuk pendidikan. Membiarkan anak-anak berada di antara jamaah shalat, menurut kalangan ini, merupakan upaya mendidik anak-anak mengenai bagaimana melaksanakan shalat berjamaah dengan baik. Perihal apakah anak-anak khusyuk atau justru membuat gaduh, itu merupakan keniscayaan dalam prosesnya.
Kedua pendapat yang berbeda di atas memiliki argumentasi masing-masing yang bisa jadi benar jika direnungkan secara seksama. Keduanya pun dapat saling melengkapi: syiar masjid dapat tersampaikan kepada anak-anak, dengan kesucian masjid serta kekhusyukan para jamaah tetap terjaga.
Namun untuk dapat saling melengkapi, ada satu hal yang--menurut hemat penulis--merupakan masalah utama yang harus diselesaikan, yakni perihal keterlibatan orang tua!