Lihat ke Halaman Asli

Ade Hidayat

Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Pendidikan yang Merawat Rasa Ingin Tahu

Diperbarui: 19 April 2021   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, pendidikan di Indonesia berada di posisi yang cukup buncit. Selain terkenal sebagai bangsa yang rendah minat bacanya, laporan PISA 2018 juga menyatakan pendidikan Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara, jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia ataupun Singapura. Assesmen global yang meliputi bidang literasi, matematika, dan sains itu memberikan gambaran kepada kita bahwa kualitas pendidikan di Indonesia terbilang masih cukup rendah, khususnya dalam percaturan global.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tentu perlu terus berbenah. Kekayaan sumber daya alam dan kultur sosial yang dimilikinya, mestinya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Tentu menjadi sebuah ironi bagi bangsa dengan tanggung jawab sebesar Indonesia, jika sumber daya manusianya tidak dididik dengan pendidikan yang berkualitas. Sebab kekayaan-kekayaan tersebut hanya bisa dikelola oleh SDM yang andal, yang lahir dari pendidikan yang berkualitas. Jika tidak tidak tersedia SDM yang berkualitas, tentu SDM dari belahan bumi lain yang akan mengelolanya.

Lemahnya peserta didik Indonesia dalam penguasaan ketiga aspek penting assesmen PISA di atas---yakni literasi, matematika, dan sains---menurut hemat penulis, merupakan sebab luaran. Di balik itu, sebab yang menjadi substansi dari masalah-masalah pendidikan di atas ialah lemahnya motivasi belajar peserta didik, yang diakibatkan oleh sistem pendidikan dan pengajaran yang tidak ramah terhadap rasa ingin tahu peserta didik.

Indonesia sendiri masih mengadopsi sistem pendidikan berorientasi skor, yang penerapannya di lapangan amat kaku. Dalam pendekatan skor semacam itu, materi pelajaran merupakan unit-unit tak bermakna yang disimpan di satu ruangan gelap di dalam otak, dan terpisah dari kehidupan sehari-hari siswa. Unit-unit tak bermakna itu disimpan hingga tiba waktu ujian untuk dirujuk kembali, sebagai jawaban dari satu pertanyaan. Materi pelajaran yang dipelajari sebagai unit-unit tak bermakna itu dalam pandangan siswa hanyalah suatu benda mati yang dibawanya sampai garis finish berupa ujian akhir---sedikit sekali yang diserap sebagai suatu nilai yang bermakna bagi keseluruhan kehidupannya.

Sementara itu di ruang kelas, pendidikan yang beorientasi skor menjadikan interaksi pengajaran berlangsung kurang efektif dalam merawat rasa ingin tahu siswa. Pengajaran tersebut memposisikan guru dan buku teks sebagai pemilik---kalau bukan satu-satunya---dari unit-unit materi dan siswa berperan sebagai penerima yang pasif. Biasanya pengajaran yang berorientasi skor menyampaikan materi pelajaran sebagai sesuatu yang sudah jadi dan final. Hampir tidak ada ruang untuk mempertanyakan relevansi suatu materi dengan kehidupan nyata siswa; untuk siswa melakukan pembandingan; apalagi meragukan satu informasi untuk menggali informasi lain yang lebih mutakhir.

Pengajaran yang menjadikan materi pelajaran sebagai sesuatu yang final tidak menstimulasi peserta didik untuk berusaha menggali fakta-fakta lain, atau dari sumber-sumber yang berbeda. Ketiadaan stimulasi itu merupakan keadaan yang tidak ramah terhadap rasa ingin tahu peserta didik. Proses belajar yang seperti itu, mungkin memudahkan guru dalam hal metodologi pengajaran. Namun, jika diakumulasi secara terus menerus, proses belajar yang seperti itu akan menyebabkan kemandegan pola pikir peserta didik (Postman, 2019: 170). Akibatnya, bukannya menyuburkan rasa ingin tahu, pengajaran malah meredupkan motivasi peserta didik untuk senantiasa mencari tahu, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Jelaslah pendidikan kita merupakan ironi.

Redupnya motivasi peserta didik untuk mencari tahu, yang dibentuk justru oleh sistem pendidikan dan pengajaran yang kurang tepat sudah sepatutnya menjadi perhatian banyak pihak. Belajar bukan hanya mengumpulkan informasi yang telah jadi. Peserta didik mesti dikenalkan pada proses mencari dan memikirkan informasi, menemukan dan membandingkannya, atau bahkan meragukan satu argumentasi untuk kemudian menyusun argumentasi lain yang lebih relevan dengan konteks kehidupannya saat satu materi dipelajari. Ruang kelas didesain menjadi tempat yang terbuka bagi pertanyaan-pertanyaan dan bersahabat dengan rasa ingin tahu peserta didik.

Ruang kelas yang bersahabat dengan rasa ingin tahu peserta didik itu senantiasa diisi oleh ketidakutuhan fakta dari satu bahasan mater pelajaran. Maka fungsi guru sebagai mentor sekaligus motivator bagi peserta didik menjadi amat penting. Guru perlu memberikan penjelasan kepada peserta didik bahwa ia tidak memiliki fakta yang final dan utuh. Setiap orang yang terlibat dalam kegiatan belajar di dalam kelas tersebut memiliki tanggung jawab yang sama untuk menemukan fakta-fakta dari materi yang dipelajari hari itu.

Selain itu, amatlah baik jika buku teks---sebagai salah satu alat utama dalam pembelajaran di ruang kelas---difungsikan sebagai sumber informasi yang menyediakan fakta awal kepada peserta didik. Fakta awal itu bagaikan puzzle yang belum utuh. Dibutuhkan potongan-potongan puzzle lainnya untuk melengkapi gambar besar dari fakta tersebut. Dan, potongan-potongan yang hilang itu tidak dapat ditemukan di dalam buku teks. Peserta didik harus mencarinya secara mandiri pada buku-buku non-teks di perpustakaan, melalui internet, atau dengan mewawancarai tokoh yang dianggap kompatibel.

Fakta-fakta yang dihimpun secara mandiri oleh siswa tersebut bersifat terbuka untuk didiskusikan. Untuk itu, guru perlu mendorong aktivitas kelas menuju pertanyaan-pertanyaan seperti: dari mana fakta itu diperoleh? Siapa yang menyatakan fakta itu? Mengapa fakta itu diambil dan dianggap penting? Apa relevansi dari fakta tersebut terhadap kehidupan kontekstual kita? Adakah fakta lain yang lebih relevan yang bisa kita terima? Semua pertanyaan itu pada akhirnya akan membentuk ekosistem yang bersahabat terhadap rasa ingin tahu peserta didik.

Namun, meskipun dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang memantik rasa ingin tahu peserta didik, titik tekan dari kegiatan belajar yang ramah terhadap rasa ingin tahu tersebut terletak pada proses timbal-balik antara satu pertanyaan ke pertanyaan lain; bukan pada kebenaran utuh suatu fakta itu sendiri, Artinya, kegiatan belajar di kelas juga terbuka untuk kesalahan-kesalahan. Melalui kesalahan yang ditemukan selama proses belajar, peserta didik bisa terus menantang dirinya untuk menemukan perbaikan dari kesalahan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline