Sebuah artikel yang saya lupa siapa penulisnya kurang lebih mengatakan bahwa kita hidup di era berita dan informasi. Kondisi ini menyebabkan lingkungan sekitar kita dikelilingi oleh "opini" yang diciptakan berita, bukan dikelilingi oleh fakta dan kebenaran.
Fenomena tersebut salah satunya ditunjukkan dengan makin masif-nya informasi di sosial media. Flooding informasi yang masuk ke reseptor di otak manusia menyebabkan kemampuan multitasking menjadi satu keniscayaan. Sudah bukan aneh, kita melihat orang sambil berbincang-bincang tatap muka, tetapi tangannya asyik berselancar di dunia maya. Sambil berkendara, masih ada yang sempat membalas chatting dari seseorang. Sehingga slogan "Dilarang menelepon sambil menyupir" diganti dengan "Dilarang memainkan telepon genggam sambil menyupir". Sosial media juga menimbulkan kesan pergaulan sosial yang semu, karena seolah-olah kita berada dan dekat dalam lingkungan sosial dan pertemanan, padahal tidak demikian.
Yang menarik untuk diamati adalah kecenderung perilaku penggunan sosial media untuk berbagi (sharing). Ada dua jenis perilaku berbagi yaitu dalam arti positif dan negatif. Perilaku positif misalnya menggalang dana untuk orang tidak mampu, menginformasikan orang hilang, menyampaikan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Perilaku negatif misalnya menyampaikan fitnah, kebohongan, mengadu domba, kekerasan dunia maya, human trafficking, dan sebagainya.
Permasalahannya perilaku negatif tersebut ada yang disengaja dan ada yang tidak disengaja atau tidak disadari oleh pelaku sharing. Yang tidak disadari inilah sebenarnya yang patut juga diperhatikan. Ada faktor-faktor yang ikut berperan menurut penulis, yaitu ketidaksiapan pengguna internet dalam menangkap informasi, ketidakpemahaman terhadap konten informasi, ketidakmauan (malas) dalam menggali kebenaran informasi, dan kebutuhan aktualisasi diri pengguna media.
Sebenarnya akar masalah yang dominan adalah kebutuhan user akan aktualisasi dirinya di dunia maya. Aktualisasi yang tidak didapatkan di dunia nyata, dialokasikan ke dunia maya. Bahkan ada yang sudah aktual di dunia nyata, masih menuruti syahwat aktualisasinya di dunia maya. Bagi para user media yang sudah mature, paham, dan rajin mengkonfirmasi konten informasi, maka pemenuhan kebutuhan aktualisasi tidak begitu bermasalah. Akan menjadi persoalan jika para user memiliki karakteristik sebaliknya, yakni tidak siap, tidak paham dan malas mengkonfirmasi konten informasi. Kondisi terakhir inilah yang berperan dalam makin banyaknya para pengguna internet yang menjelma menjadi "budak kapitalis berita".
Sebuah artikel di media yang sempat saya baca, ada situs berita anti mainstream yang mendapat pemasukan iklan dari GoogleAds. Pendapatan iklan tersebut berbanding lurus dengan jumlah hit atau klik oleh pengguna internet ke situs tersebut. Kalau kita berselancar dengan 'mbah Google' akan ditemui situs-situs yang hanya mengoptimalkan tools SEO. Yang penting 'keywords' nya ada, urusan konten belakangan. Mau kontennya itu memiliki nilai negatif, atau hasil copy paste dari web lain, itu belakangan.
Trik yang sekarang ini sedang trend adalah mengisi konten situs dengan berita-berita politik yang seksi. Misalnya perseteruan Ahok dengan BPK, Jokowi lovers vs Jokowi haters, bahkan berita selebritis. Para pengelola konten situs tersebut sengaja memainkan emosi pembaca dengan menggunakan judul yang mengundang hasrat untuk di "klik". MIsalnya sebuah judul berikut: "Inilah kenapa artis X memutuskan bercerai" atau "Rhoma Irama tewas dirampok" ternyata isinya bukan artis rhoma irama melainkan orang yang mirip rhoma irama. Dalam berita politik, misalnya headlina "KPK menahan anggota DPR yang...". Headline sengaja diberi tanda "..." untuk memancing keingintahuan pembaca.
Apakah praktik tersebut menyimpang? jawabannya tidak. Permasalahannya sering ditemukan ketidaksinkronan antara headline dengan isi berita. Sering ditemukan koten berita yang masuk kategori "Hoax". Di sinilah tanggung jawab moral yang harus ditanggung pengelola situs dan penyebar konten berita. Featur "share" yang ada di media sosial seperti Facebook memudahkan orang untuk menyebar berita hoax. Ada berbagai karakteristik penyebar (share) berita hoax ini, yaitu mereka yang memang sengaja dengan berbagai motif (politik, ekonomi, sosial), mereka yang ingin memenuhi kebutuhan aktualisasi di dunia maya, dan mereka yang tidak paham atau tidak sadar melakukannya.
Golongan yang terakhir inilah yang dimanfaatkan oleh situs yang tidak bertanggung jawab untuk bisa meningkatkan "hit" atau "jumlah klik" situs web mereka. Ujung-ujungnya pundi-pundi keuangan akan makin gemuk. Situs web ini menjadi untung, penyebar informasi yang tidak sadar malah jadi bahan "bully" netter lainnya. Aktualiasasi yang salah kaprah. Bukan label "exist" yang didapat, tetapi malah menjadi budak kapitalis berita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H