Ringkasan Eksekutif.
Negara memiliki akuntabilitas untuk memberikan jaminan kesehatan yang komprehensif,adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Pemerintah telah menunjuk PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, yang kemudian berganti nama menjadi BPJS. Namun, niat mulia pemerintah ini masih menghadapi beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. BPJS mengalami defisit anggaran dalam menangani klaim terhadap rumah sakit dan klinik yang menerima pasien BPJS dikarenakan iuran yang diterima tidak sebanding dengan biaya klaim yang dibayarkan.
Pada tahun 2014, BPJSKes defisit mencapai Rp 1,9 triliun dan terus berlanjut di tahun 2015 menjadi Rp 9.4 triliun. Sementara, pemerintah sudah campur tangan menyuntikkan dana sebesar Rp 5 triliunan . Agar BPJSKes dapat terus menyediakan pelayanan kesehatan, Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp 8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp 27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen, sehingga sampai saat ini BPJSKes masih mengalami defisit yang sangat signifikan.
Kata Kunci: Defisit Anggaran, Peraturan Presiden
Konteks dan Urgensi Masalah
Program JKN saat ini menghadapi tantangan karena adanya defisit yang terjadi sejak awal pelaksanaan karena besaran premi dinilai underprice. Selain itu, terjadi adverse selection pada peserta mandiri mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan berhenti dari program atau tidak disiplin membayar iuran setelah sembuh.
Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen. Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Di sisi lain kampanye terhadap manfaat BPJS masih rendah serta masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa asuransi hukumnya haram. Sejak 2016 s.d 2018, besaran tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp 15 triliun. Defisit masih berlanjut dan di proyeksikan menjadi Rp 32 triliun pada akhir 2019.
Hal ini bisa terjadi kemungkinan ada yang salah dalam tata kelola BPJS. Faktor lain yang dapat mempengaruhi defisit anggaran yaitu adanya penyakit katastopik yang diderita masyarakat, adanya oknum rumah sakit yang mengklaim tagihan terhadap BPJS yang dapat menggelembungkan tagihan yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan (markup), melakukan tindakan operasi terhadap pasien yang seharusnya tidak perlu dilakukan dan penggunaan alat-alat rumah sakit yang tidak perlu penggunaannya terhadap pasien serta laporan diagnosa pasien yang dilebihkan agar tagihan BPJS menjadi besar.
Selain masalah defisit anggaran, masalah utama lain yang di hadapi oleh BPJS adalah mutu pelayanan kesehatan yang belum optimal. Keterbatasan Faskes terkait dengan kekurangan jumlah tempat tidur, kurangnya jumlah/distribusi sumber daya tenaga medis khususnya dokter, serta kurangnya infrastruktur kesehatan. Dalam hal ini temasuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni RS, Klinik serta Puskesmas. Sering kita temui di lapangan, masyarakat harus rela antri dari jam 5 subuh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Kritik terhadap kebijakan yang Ada
Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi defisit anggaran dengan mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 75/2019 peraturan tersebut berisi perubahan Perpres 82 th 2018 tentang jaminan kesehatan mengenai iuran BPJS yang di tegaskan dalam pasal 34 Perpres 75 th 2019 yaitu untuk kelas 1 sebesar 160.00,00/orang/bulan, kelas II sebesar 110.000,00/orang/bulan dan kelas III sebesar 42.000.00/orang/bulan. Selain itu, upaya pemerintah lainnya adalah dengan membuat Standar Operasional Procedure (SOP), pembuatan Clinical pathway, membentuk Satuan Tugas Anti Fraud, meninjau Paket Indonesia Case Base Group (INA CBGs) dan kapitasi yang berbasis kinerja bagi FKTP. Termasuk penataan data kepesertaan.