Stabilitas Pasar Saham Syariah Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global
Ketidakpastian kebijakan ekonomi (EPU) telah menjadi isu global yang signifikan, terutama setelah krisis keuangan global tahun 2008. Ketika dunia menghadapi berbagai guncangan ekonomi, mulai dari Brexit, perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, hingga pandemi COVID-19, EPU menjadi faktor kunci yang memengaruhi pasar keuangan di seluruh dunia. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki pasar saham syariah yang berkembang pesat dan menarik perhatian investor global. Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) mencerminkan kinerja perusahaan-perusahaan yang patuh terhadap prinsip-prinsip syariah dan telah menjadi salah satu instrumen investasi yang diandalkan, baik oleh investor domestik maupun internasional.
Penelitian yang dilakukan oleh Mashilal, Farah Amalia, dan Luksi Visita (2023) memberikan bukti empiris tentang bagaimana EPU yang diproksikan oleh tiga ekonomi terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat, Cina, dan Jepang, memengaruhi pasar saham syariah di Indonesia. Dengan menggunakan data deret waktu dari Januari 2015 hingga Desember 2022 dan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM), penelitian ini menemukan bahwa ISSI merespons positif terhadap EPU global, nilai tukar, dan ekspor, namun menunjukkan respons negatif terhadap inflasi.
Temuan ini menjadi penting, mengingat pada tahun 2023, kapitalisasi saham syariah di Indonesia mencapai 390 miliar USD, lebih kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 504 miliar USD, namun tetap menunjukkan pertumbuhan yang stabil. Dalam konteks ini, memahami dampak ketidakpastian kebijakan ekonomi global terhadap pasar saham syariah di Indonesia menjadi sangat krusial bagi investor dan pembuat kebijakan dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.
***
Penelitian yang dilakukan oleh Mashilal, Farah Amalia, dan Luksi Visita (2023) menyoroti bagaimana ketidakpastian kebijakan ekonomi global memengaruhi pasar saham syariah di Indonesia. Ketidakpastian kebijakan ekonomi Amerika Serikat, Cina, dan Jepang, sebagai tiga ekonomi terbesar di dunia, memberikan dampak signifikan terhadap pasar saham syariah di Indonesia. Ini dapat dilihat dari respons positif Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) terhadap EPU yang diproksikan oleh ketiga negara tersebut. Dalam penelitian ini, respon ISSI terhadap EPU Amerika Serikat mencapai 0,008823% pada periode ketiga, yang menunjukkan bahwa pasar saham syariah di Indonesia cenderung lebih stabil dan tangguh dibandingkan dengan pasar saham konvensional di tengah ketidakpastian global.
Salah satu faktor yang mendukung stabilitas pasar saham syariah di Indonesia adalah dominasi investor domestik. Data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada akhir tahun 2023 menunjukkan bahwa 58,01% dari total aset pasar modal Indonesia dikuasai oleh investor domestik, sementara investor asing hanya menguasai 41,99%. Hal ini memberikan buffer terhadap volatilitas global karena investor domestik cenderung lebih bertahan dan tidak mudah panik saat menghadapi ketidakpastian global. Selain itu, karakteristik unik pasar saham syariah, seperti pembatasan terhadap investasi berisiko tinggi dan rasio hutang berbasis bunga, memberikan perlindungan tambahan terhadap ketidakpastian ekonomi global.
Selain EPU, nilai tukar dan ekspor juga menjadi faktor penting yang memengaruhi ISSI. Penelitian ini menemukan bahwa penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing memberikan dampak positif terhadap ISSI. Pada kuartal ketiga tahun 2023, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,55% year-on-year (yoy), namun ISSI masih mampu menunjukkan performa positif karena dominasi sektor industri yang berorientasi ekspor, seperti otomotif, tekstil, dan barang-barang konsumsi non-primer. Kinerja ekspor Indonesia yang kuat, dengan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, juga menjadi pendorong utama bagi stabilitas pasar saham syariah.
Namun, inflasi tetap menjadi ancaman utama bagi pasar saham syariah. Selama tahun 2022, inflasi di Indonesia mencapai 5,95% (yoy), tertinggi sejak beberapa tahun terakhir, terutama dipicu oleh kenaikan harga energi dan pangan akibat perang Rusia-Ukraina. Inflasi yang tinggi ini menurunkan daya beli konsumen dan meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya memberikan dampak negatif terhadap ISSI. Meski begitu, pasar saham syariah tetap menunjukkan ketahanan yang relatif baik dibandingkan dengan pasar saham konvensional.
Dengan stabilitas yang ditawarkan oleh pasar saham syariah dan perlindungan yang diberikan oleh karakteristik uniknya, investor, baik domestik maupun internasional, tetap melihat ISSI sebagai pilihan investasi yang menarik di tengah ketidakpastian global. Temuan dari penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi pembuat kebijakan untuk terus mendukung pengembangan pasar modal syariah di Indonesia, dengan memperhatikan dinamika EPU global dan faktor-faktor makroekonomi lainnya.
***