Kritik dan masukan silahkan kirim ke ade.heryana24@gmail.com
Bagi yang paham, keset adalah alat untuk membersihkan alas kaki dari kotoran. Dibutuhkan hanya bila ada sepatu/kaki yang kotor, bila tidak dibutuhkan hanya jadi pajangan di depan pintu. Dibersihkan bila memang sudah sangat kotor, kadang multi fungsi menjadi alas untuk menggeser barang-barang di rumah seperti lemari, untuk mengganjal pintu dan sebagainya. Itulah gambaran keset yang tidak berharga, beda dengan aset yang sangat berharga.
Kalau kita simak artikel kelompok medis Kompasiana minggu terakhir ini diisi dengan sorotan mengenai SDM kesehatan. Bertepatan dengan setahun usia JKN, permasalahan SDM menjadi hal yang banyak disoroti. Ini sesuai dengan sifat dari pelayanan kesehatan yang syarat dengan keterampilan, pengetahuan, kompetensi dan perilaku sumber daya manusia yang menjalankan.
Seiring dengan hal di atas, sebagaimana dilansir marketeers.com Frost & Sullivan memprediksi potensi industri kesehatan di Indonesia akan mengalami peningkatan sampai dengan empat tahun ke depan. Pada tahun 2018, belanja kesehatan di Indonesia akan mencapai US$60,6 miliar, dan akan tumbuh seiring meningkatnya permintaan pasien untuk mendapat layanan kesehatan yang baik. Hal ini akan berakibat pada tingginya permintaan sumber daya kesehatan, bukan hanya dari segi kuantitas melainkan juga segi kualitas.
Dalam konteks makro, sumber daya manusia adalah sub sistem dari sistem kesehatan nasional bersama dengan komponan lainnya. Sedangkan dalam konteks mikro, sumber daya manusia adalah salah satu faktor produksi/proses yang turut andil dalam penyampaian jasa. Karena pentingnya faktor manusia dalam industri jasa, faktor ini ditambahkan dalam marketing mix pelayanan jasa yang dikenal dengan 7P (Product, Price, Place, Promotion, Process, Physical Evidence dan People). Satu kesepakatan tidak tertulis bahwa manusia/people berkontribusi 80% terhadap keberhasilan dan kegagalan penyampaian layanan kesehatan.
Mengapa masalah sumberdaya manusia begitu penting dalam layanan kesehatan? Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakani hal ini.
Pertama, industri layanan kesehatan adalah industri yang labor-intensive. Hal ini menyebabkan sebagian besar pembelanjaan organisasi pelayanan kesehatan adalah untuk membayar gaji karyawan. Tingginya pos biaya gaji sering menjadi menjadi permasalahan tersendiri terutama dalam menentukan tarif pelayanan, menghitung efisiensi pelayanan, dan kadang menimbulkan permasalahan hubungan industrial antara pengusaha/pimpinan dengan tenaga kesehatan.
Kedua, industri layanan kesehatan adalah industri yang syarat dengan regulasi. Output dari layanan kesehatan adalah memelihara kesehatan sejak manusia lahir hingga wafat. Karena obyek dari layanan ini adalah manusia, perlu ada regulasi yang bertujuan menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan. Regulasi tersebut termasuk mengatur jaminan perlindungan pasien dan tenaga kesehatan akan kejadian mal praktik.
Ketiga, industri layanan kesehatan adalah industri yang syarat dengan sentuhan manusia (human touch). Secara empiris, kecanggihan alat-alat kedokteran tidak menjamin mutu pelayanan kesehatan meningkat. Kecanggihan alat medis hanya membantu dari segi kecepatan dan keakuratan. Namun ada sisi lain dari mutu pelayanan kesehatan yang tidak tergantikan oleh mesin yakni keramahan.
Keempat, industri layanan kesehatan adalah industri yang bersifat asymetric information. Pada kondisi ini, pasien sering tidak memahami informasi mengenai jasa/layanan yang akan diterima. Ada dua implikasi dari asymetric information yaitu pasien merasa sering dirugikan oleh layanan kesehatan, dan pelayanan kesehatan akan rentan dengan komplain karena ketidakcukupan informasi yang dimiliki pasien. Untuk itu dibutuhkan sumberdaya kesehatan yang bukan saja memiliki keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni, tetapi juga memiliki integritas dan sikap yang baik.
Kelima, industri layanan kesehatan adalah industri yang memiliki jam kerja non-stop. Karena kejadian yang berhubungan dengan kesehatan tidak mengenal waktu, maka pelayanan kesehatan tetap beroperasi 24 jam-365 hari. Implikasi dari hal ini adalah pelayanan kesehatan membutuhkan jumlah sumberdaya yang tidak sedikit dan dibutuhkan pengontrolan lebih ekstra. Ini pula yang menyebabkan kontribusi biaya gaji pada pelayanan kesehatan begitu tinggi.
Keenam, industri layanan kesehatan adalah industri dengan output jasa yang sangat bervariasi. Terdapat ribuan jenis tindakan medis yang bisa diberikan oleh layanan kesehatan sebagaimana data dalam tarif INA-CBG’s. Jenis layanan yang banyak berimplikasi pada variabilitas dan kompleksitas keterampilan sumber daya manusia kesehatan.
Beberapa keunikan serta karakteristik di atas membutuhkan perhatian serius pimpinan dan pengelola pelayanan kesehatan akan pentingnya peran sumber daya manusia. Salah satu keberhasilan organisasi pelayanan kesehatan dalam mencapai tujuannya adalah menempatkan sumber daya sebagai aset bukan keset (alat produksi). Untuk itu sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan perlu dikelola dengan baik. Bagaimana mengelolanya?
Leiyu Shi (2007) dalam bukunya Managing Human Resources in Health Care Organizations halaman 10, menyatakan terdapat tujuh fungsi yang harus dijalankan dalam mengelola sumber daya manusia di pelayanan kesehatan, antara lain (1) menentukan rencana strategis SDM; (2) melakukan rekrutmen dan seleksi dengan baik; (3) memelihara agar SDM betah atau retention; (4) memberikan kompensasi dan benefit; (5) mengevaluasi kinerja SDM; (6) memberikan pelatihan dan pendidikan; dan (7) memperhatikan aspek hukum dan regulasi SDM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H