"Bunda, anterin Aksa ke pasar, ya?" pinta Aksara saat aku menjemputnya sekolah.
"Mau ngapain, Sayang?"
"Aksa ingin membeli Ayah, Bun. Semua temanku memiliki ayah, hanya aku yang tidak memilikinya," ucapnya polos. Mata bocah empat tahun itu tampak berbinar.
Kuraih jemari mungil bocah itu. Air mata mulai luruh dari sudut matanya. Hati ini tersayat mendengar ucapannya. Ketika usianya menginjak empat tahun, Aksara harus menerima kehampaan dalam lingkup keluarga. Sosok ayah yang selama ini dia rindu, mustahil untuk kembali.
"Aksa punya Ayah, kok. Ayahmu bekerja di tempat jauh, Nak." Aku berusaha memberi tahu, kuharap ia mengerti.
Bocah itu mengangguk pelan. Seulas lengkung bulan sabit tersungging di poros bibirnya. Setitik harap terpancar dari matanya. Lekas kupeluk bocah itu, lalu mengecup puncak kepalanya pelan.
Setelah memasang helm, aku memberi isyarat agar Aksara duduk di jok belakang. Setelah itu, men-starter motor yang kupinjam dari Pak Samad---pemilik kos---pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku teringat tentang Mas Tegar, suami yang tega meninggalkanku.
Sepeninggal lelaki itu, aku menjadi orang tua tunggal. Tidak mudah memang sebab diriku harus merangkap jadi figur ayah. Bocah itu harus membiasakan diri tanpa ayah.
Sepenggal kenangan masa lalu tetiba berputar jelas. Kala itu, usia Aksara menginjak 15 bulan. Mas Tegar sedikit jengkel lantaran Aksara berbeda dari bayi seusianya.
"Anak seusianya sudah bisa berjalan, seharusnya Aksa juga begitu. Paling tidak, dia harus bisa bicara!" Lelaki itu berucap sambil berkacak pinggang. Matanya menatap nyalang ke arah bayi dalam gendonganku.
"Sabar, Mas. Pertumbuhan anak sudah ada porsinya, kok."