Rumi dalam Syairnya melantun:
Suatu hari nanti, jiwa-jiwa kita akan bersatu,
dan penyatuan ini abadi. Aku mengetahui segala yang aku berikan untukmu selalu kembali kepadaku. Maka kuberikan hidupku,
seraya berharap engkau akan pulang kepadaku.
Membaca syair Rumi di atas saya teringat sebuah riwayat Rasulullah: Dalam sebuah majelis yang dihadiri Rasullulah, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, kapan datangnya hari kiamat? Rasul melihat ke arahnya, Rasul tak langsung menjawab, tetapi Rasul bertanya kepada sahabat itu. Apa yang sudah kamu persiapkan ketika datangnya hari kiamat? Ia terkejut, tertunduk lesu mendengar pertanyaan Rasulullah. Selang beberapa menit, dengan suara yang menahan tangis, ia kemudian menjawab "Saya seorang pendosa, saya tak mempunyai amal yang banyak, tetapi saya mencintaimu dan keluargamu, ya Rasulullah!" "Lalu Rasulullah berkata, engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai".
Saya percaya bahwa berbicara tentang cinta, ia tak sekadar ucapan-ucapan manis, tindakan tulus kita terhadap pacar, istri, keluarga dan orang dekat. Akan tetapi lebih dari itu cinta merupakan spirit. Ia mengantarkan jiwa menyatu dengan yang kita cintai.
Kalau kita sedikit mendedah buku-buku yang mengisahkan para sufi, cinta yang mereka tunjukan atau ucapkan dalam syair-syair mereka takbiasa, tak seperti ucapan cinta umumnya. Why? Kata-kata yang diucapkan sufi melalui syair-syair mereka lebih kepada pemujaan terhadap Tuhan. Bukan kata-kata cinta seperti diucapkan anak-anak ABG utuk menggoda lawan jenisnya. Hehe
Ungkapan syair cinta para sufi seperti ini:
Oh, Tuhanku. Mati untuk bersatu dengan-Mu adalah harapan yang manis. Tapi hidup dalam kepahitan terpisah dari-Mu adalah hangus dilalap api."
Surga tanpa Cinta-Mu adalah Neraka bagiku.