Lihat ke Halaman Asli

Sultan HB X: Sabda Raja Berdasarkan Bisikan Gaib?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sabda Raja yang disampaikan Sri Sultan HB X beberapa hari yang lalu mengundang polemik dan kontroversi tajam di kalangan keluarga kraton dan masyarakat Yogyakarta. Sore tadi sekitar pukul 17.00 akhirnya Sultan memberikan konferensi pers bertempat di kediaman GKR pembayun yang sekarang diberi gelar GKR Mangkubumi.

Isi konpers pada intinya menegaskan bahwa ketetapan dalam Sabda Raja yangsudah dikeluarkannya adalah bukan atas kehendak pribadinya tetapi atas dasar wisik (bisikan gaib) dari para leluhur Mataram yang menerima wahyu langsung dari Gusti Allah yang Maha Mencipta dan Maha Kuasa.  Juga menjawab beberapa pertangaan sebagai berikut:


  1. Pembukaan Sabda Raja tidak menggunakan ucapan Assalamu’alaikum sebagai lazimnya  yang dilakukan para Sultan sebelumnya dengan argumentasi bahwa kalimat ini lang sung dari Allah sehingga tidak perlu Assalamu’alaikum.
  2. Isi dari bisikan gaib tersebut menyatakan bahwa perjanjian kesepakatan antara leluhur Mataram Ki Ageng Pemanahan (ayah Panembahan Senopati pendiri Kerajaan Mataram Islam) dan Ki Ageng Giring (ayah dari isteri pertama Panembahan Senapati), atau kakek dari Panembahan Purbaya yang bergelar Banteng Mataram (paman dan tangan kanan pelindung Sultan Agung Hanyakrakusuma), yang menyepakati bahwa yang menduduki tahta di Mataram nanti akan bergilir antara keturunan Pemanahan dan Giring sudah berakhir.
  3. Julukan Sultan Hamengku Buwono diganti Hamengku Bawono , Buwono berati jagad cilik (dunia kecil) sedang Bawono adalah jagad gedhe (dunia besar). Sultan memberi perumpamaan jika Buwono itu meliputi suatu daerah maka Bawono itu nasional. Jika Buwono itu Nasional maka Bawono itu Internasional.
  4. Gelar Khalifatulah Sayidin Panatagama yang dipakai sejak Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama) diganti menjadi Panatagama Bawono Langgeng. Ketika ada hadirin yang bertanya mengapa Khalifatullah dihilangkan, di jawab  ya seperti itulah bisikannya. Bahkan salah seorang penanya mengatakan ada pertanyaan gunjingan temannya yang menduga-duga apakah Sultan sudah bukan Muslim, jawabannya tidak tegas.

Dari  konferensi  pers Sultan HP X tersebut jika kita amati ada beberapa kejanggalan. Tidak terlihat Hadir kerabat keraton selain Istri dan putri-putrinya. Sebagai juru bicara Sultan bukan dari dari abdi dalem atau Pengageng Kawedanan (pejabat struktural yang membawahi fungsi tertentu di Kraton) yang menguasai adat istiadat dan paugeran (peraturan) tertulis maupun tidak tertulis, tetapi seseorang  yang bernama Sujarwo. Dalam pembukaannya Sujarwo dengan bahasa jawa yang belepotan mengaku berasal dari Banyumas dan berprofesi sebagai paranormal atau dukun.

Kejanggalan berikutnya yang mendasar adalah alasan utama dikeluarkannya sabda raja tersebut adalah dari bisikan gaib. Menurut pengamatan penulis berdasarkan penelusuran bukti dokumen resmi atau satra yang tertulis tidak sekalipun seorang Sultan pernah mengatakan bahwa keputusannya berdasarkan bisikan gaib. Adanya mitos-mitos gaib seperti Nyai Roro Kidul dan sebagainya hanya beredar dikalangan abdi dalem dan masyarakat  bawah. Sebagai contoh Sultan HB IX dalam mengambil keputusan politik dan kekuasan selalu berdasarkan pemikiran yang rasional termasuk keputusannya menggabungkan  Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan NKRI.

Bahkan Raja Mataram yang terbesar pengaruhnya dan kekuasaannya seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma mendasarkan keputusan-keputusannya berdasarkan pemikiran yang jernih dan pertimbangan para Ulama seperti tertulis dalam Serat Sastra Gending gubahan beliau dikutip dari p Pupuh Durma sebagai berikut: Ywa Dumeh Wus Wasis, Tan Dadya Nistanya, Minta Patweng Ngulama, Malah Tumibeng Utami, Yen Wus Mupakat, Tiga Sekawan Alim. Artinya: Jangan karena merasa sudah pintar, Tidak ada hinanya, Meminta fatwa dari para ulama, Justru itulah yang utama, Jika sudah sepakat, tiga atau empat orang alim (berilmu).

Penulis sebagai trah Pemanahan dan juga Giring merasa ikut prihatin dengan dengan perkembangan Kasultanan Yogyakarta yang dibawa kearah yang menyimpang  jauh dari petunjuk agama, dan munculnya kembali tradisi mistik dan klenik yang menyesatkan masyarakat  yang seharusnya sudah tidak relevan lagi  di jadikan alat untuk memperoleh dukungan di abad informasi ini. Jaman dahulu filosofi mistik dan klenik memang sarana ampuh dijadikan alat untuk melegitimasi dukungan politik tetapi sekarang justru menggelikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline