Lihat ke Halaman Asli

Kartini Sudah Tidak Mau Lagi Membaca Al-Qur'an

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14296695171132081984

Meski Hari kartini sudah lewat, tulisan ini tetap di unggah dengan pertimbangan bahwa masih banyak yang salah persepsi mengenai latar belakang mengapa Kartini ditokohkan sebagai pejuang emansipasi wanita Indonesia (atau bahkan menginspirasi dunia). Ada yang membandingkannya dengan tokoh pahlawan wanita Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien. Bahkan ada yang berpendapat perjuangan Kartini belum berwujud aksi nyata yang skalanya nasional. Kiprahnya untuk memajukan pendidikan wanita masih bersifat lokal di sekitar Kabupaten Jepara dan Rembang, dibandingkan dua pahlawan wanita yang disebutkan di atas.

Pendapat demikian menurut saya kurang proporsional karena perjuangan Kartini sebenarnya lebih pada tataran pencarian eksistensi wanita Indonesia dalam tataran ideologi secara rasional, proporsional, dalam kerangka kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat  Jawa masa itu yang secara umum mewakili kondisi  masyarakat Nusantara.

Bahkan saya mempunyai keyakinan hingga saat ini belum banyak wanita Indonesia yang pernah membaca secara tuntas surat-surat  Kartini yang dikumpulkan oleh sahabatnya Ny. Abendanon (Stella) dalam buku  “Door duisternis tot licht” yang diterjemahkan oleh Armyn Pane menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Terjemahan inipun konon tidak 100%, Armyn Pane mengedit beberapa bagian yang menurutnya terlalu filosofis dan kurang menarik bagi pembaca umumnya.

Sebagai pembanding kita dapat membaca juga  terjemahannya dari Bahasa belanda kedalam Bahasa Inggris yang bisa di download secara gratis dan legal dari www.openlibrary.com. Bukunya berjudul  “ Letters of Javanese Princes” yang diterjemahkan oleh Agnes Louise Symmers dan diterbitkan di London tahun 1921 (16 tahun setelah wafatnya Kartini). Setelah membaca buku tersebut ada beberapa hal yang menarik  bagi saya antara lain: Pertanyaan-pertanyaan Kartini  yang kritis terhadap kondisi masyarakat di lingkungannya yang jauh melampaui jamannya. Mencerminkan kematangan dan kedewasaan berpikirnya  . Juga keluasan pandangannya untuk mampu membandingkan kelebihan dan kekurangan peradaban Barat (Eropa) dengan Timur (khususnya Jawa).

Jika kita membaca tulisan-tulisan Kartini dengan menghayati konteks jamannya dimana keadaan tanah Jawa pada Awal abad ke-20 dengan segala keterbatasan  jaringan informasi,  buku-buku bacaan, bahkan koran dan majalahpun masih langka serta kondisi masyarakat  yang sangat tradisional dan sebagian besar masih buta huruf, tente kita akan berdecak kagum, betapa majunya pikiran Kartini pada usianya yang baru sekitar 20-an tahun.

Sebagai contoh saya kutipkan disini bagaimana pergolakan pikirannya dalam mengamati keadaan masyarakatnya ketika menjalankan ritual agamanya tanpa memahami makna  dan tujuannya.  Yang hingga saat inipun masih relevan untuk dijadikan renungan bagi  umat Muslim di Indonesia.

[caption id="attachment_411716" align="aligncenter" width="490" caption="Letters of Javanese Princes , page 214"][/caption]

Aku tidak mau melakukan sesuatu hanya ikut-ikutan tanpa tahu alasannya. Aku tidak mau belajar Al-Quran lagi. Mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa asing yang aku tidak tahu artinya, bahkan mungkin guru-guruku  juga tidak tahu artinya. “Katakan padaku artinya dan aku mau belajar apapun”

[caption id="attachment_411717" align="aligncenter" width="490" caption="Letters of Javanese Prince, page 215"]

14296708601058570568

[/caption]

“Kitab itu terlalu suci untuk difahami oleh kebodohan kita. Kami tidak mau berpuasa dan mengerjakan hal-hal lain yang kelihatannya tidak masuk akal. Setiap orang putus asa, kamipun  putus asa, tidak seorangpun dapat menjelaskan hal-hal yang tidak bisa dimengerti itu. Tuhan  kita adalah kesadaran kita sendiri, neraka dan surga juga atas kesadaran sendiri,  jika kita melakukan kesalahan kesadaran kita menghukum diri sendiri, jika kita melakukan kebaikan kesadaran kita menghargainya.”

“Tahun demi tahun datang dan pergi, kami disebut pengikut Muhammad  (Muslim) karena mewarisi keyakinan ini dari orang tua kami, kami hanya Muslim dalam nama tidak lebih. Tuhan-Allah bagi kami hanya sebuah kata, sebuah nama, sebuah suara tanpa arti.”

Sekarang kami menemukan-NYA dimana secara tidak disadari jiwa kita bergantung padaNYa selama bertahun-tahun. Kita telah mencari selama ini, kita tidak menyadari bahwa Dia dekat, bahwa Dia selalu bersama kita, ada dalam diri kita.

Surat ini kelihatannya merupakan curahan hati Kartini setelah Kyai Soleh Darat mengajarkan tafsir Surah Al-Fatihah dalam bahasa Jawa yang dimengertinya. Dari sedikit cuplikan tulisan Kartini ini bisa memberikan gambaran kepada kita, penilaian Kartini terhadap keadaan sosial masyarakat dan praktek keagamaan yang hanya mementingkan formalitas ritual. Bahkan sampai hari ini masih banyak kita jumpai di masjid-masjid di kota besar setiap hari orang menghatamkan membaca (lebih tepatnya  melagukan, karena membaca berarti mengerti isinya) Al-Qur’an tanpa menambah pemahamanya terhadap isi pesan didalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline