Seorang anak lelaki berusia tujuh belas tahun mencoba mencari beberapa ranting kayu bakar di hutan untuk dijual. Matanya melirik ke berbagai arah, memperhatikan ranting kayu yang bisa ia bawa pulang, kemudian ia keringkan di rumah, lalu ia jual. Ini bukan pertama kalinya lelaki itu mencari kayu bakar, beberapa kali ia pergi ke hutan, namun yang didapat hanyalah tumpukan daun-daun kering berjatuhan di tanah, dimana kelak dedaunan itu akan berubah menjadi tanah.
Hari ini lain dari biasanya, lelaki itu mendapatkan banyak sekali kayu-kayu bakar. Ia bawa ranting-ranting pohon di punggungnya yang kekar. Selama perjalanan pulang, ia berangan-angan akan mendapatkan banyak uang setelah kayu bakarnya terjual habis.
"Esok hari aku akan makan makanan lezat." Ujarnya dalam hati.
Mentari telah meninggi tepat di atas kepala. Lelaki itu telah sampai di rumah, ia jemur semua kayu bakar yang telah dibawa di halaman depan rumahnya. Lelaki itu tak sabar menanti kayu-kayunya kering. Dua jam berlalu, awan hitam telah menutup langit biru. Alangkah kecewanya lelaki itu, segera ia ambil kayu-kayu yang dijemur. Wajahnya cemberut, meluapkan semburat kekecewaan akan harapan-harapan saat perjalanan pulang.
"Esok hari aku akan makan apa? Kayu-kayuku belum kering dan siap dijual."
Sambil mengeluh, lelaki itu menatap perutnya yang sedari pagi belum diisi makanan. Tenggorokannya kering sebab tak terbasuh sedikit pun air. Ia mengiba pada langit, seraya memohon keajaiban agar esok hari dirinya bisa makan tanpa harus meminta pada orang lain, meski hanya dengan sepotong roti kering yang hambar.
Lelaki itu kembali mengeluh, sadar bahwa ia tak bisa mengandalkan keajaiban. Baginya, keajaiban akan hadir tatkala semua usaha telah dilakukan. Kejaiban tak datang secara tiba-tiba, membutuhkan perjuangan yang lama.
"Ah, tampaknya aku tak akan mendapatkan keajaiban."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H