Lihat ke Halaman Asli

ade darma putra 2477

Pemerhati keuangan pemerintah

Masih Relevankah PDB?

Diperbarui: 15 Mei 2019   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel tentang keusangan PDB sebagai indikator dalam mendiagnosis perekonomian. Saya setengah setuju dengan pendapat tersebut. 

Soalnya, akan sangat misleading apabila menjadikan PDB sebagai satu-satunya indikator dalam mendiagnosis perekonomian. Bahkan tidak (belum) ada indikator statistik yang dapat merangkum seluruh aktivitas ekonomi atau kesejahteraan suatu negara maupun dunia. Lain halnya, apabila metode perhitungan PDB yang dianggap usang (seperti yang disampaikan oleh artikel yang penulis baca), maka argumen tersebut layak untuk didiskusikan.

PDB tidak dapat menggambarkan distribusi kekayaan. Selain itu, salah satu kritik terbesar atas penggunaan PDB adalah pergeseran nilai atas suatu produk. Nilai komputer sekarang akan sangat tidak relevan apabila dibandingkan dengan nilai komputer pada tahun 80an. 

Begitu juga dengan harga produk digital yang jauh lebih murah dari produk fisik seperti yang dicontohkan dalam artikel. Sehingga, penulis sepenuhnya setuju dengan pendapat yang menyatakan metode perhitungan PDB butuh penyempurnaan. Tetapi tidak serta merta menjadikan penggunaan PDB sebagai salah satu indikator ekonomi menjadi usang.

Profesor dari Harvard, Greg Mankiw menyebutkan 3 reaksi ekonom mainstream dalam masalah ini:

  • PDB (Gross Domestic Product/GDP) merupakan instrumen yang tidak lengkap;
  • Walaupun jauh dari sempurna, PDB masih merangkum fitur non keuangan yang penting bagi masyarakat. Contohnya: negara kaya akan lebih mampu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakatnya;
  • Tidak (belum) ada satupun indikator statistik yang dapat merangkum segalanya.

Mankiw bahkan memberikan contoh bagaimana pilihan dapat mempengaruhi "kesejahteraan seseorang". Misalnya ketika anda menambah jam kerja saat lembur, dengan harapan uang lembur dan kemungkinan promosi di masa depan, maka anda akan mengorbankan waktu berkualitas dengan keluarga. Sebuah tradeoff yang berbuah opportunity cost.

Jadi, dalam menggambarkan "kesejahteraan" membutuhkan penilaian subyektif. Seseorang bisa menilai acara nikahan kerabatnya lebih penting daripada membuka toko 2 jam lebih lama pada saat ramai pelanggan. Sehingga, penulis tidak yakin sebuah indikator yang dapat menggambarkan kualitas kehidupan (baca: kebahagiaan) seseorang dapat diciptakan.

Tapi, penulis yakin bahwa peningkatan PDB riil (pertumbuhan ekonomi) memberikan lebih banyak opsi bagi negara dalam usaha meningkatkan kesejahteraan warganya. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi akan tidak ada artinya apabila hanya meningkatkan kemacetan, bertambahnya polusi, percepatan global warming, atau bahkan menciptakan masyarakat impersonal akibat berkurangnya hubungan sosial langsung (bukannya lewat medsos).

Jadi, usangkah PDB sebagai indikator ekonomi? Menurut penulis tidak. Karena kita bisa menggunakan PDB bersamaan dengan Human Development Index, Gini Ratio, Green Gross Domestic Product, Inflasi, tingkat pengangguran, indeks saham, nilai tukar, suku bunga riil, dan indikator lainnya dalam mendiagnosis ekonomi. Rasanya, sah-sah saja apabila kita percaya bahwa pemimpin kita tidak akan menggunakan satu indikator statistik saja dalam pemilihan kebijakan.

Harap diingat, ekonomi hanyalah bagian dari ilmu sosial. Akan menyesatkan apabila kita menjadikan ekonomi sebagai satu-satunya indikator keberhasilan seseorang/negara. Bagi penulis, PDB (baca pertumbuhan ekonomi) hanyalah alat mencapai kesejahteraan, bukannya tujuan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline