Lihat ke Halaman Asli

Jas Merah di Stasiun Tugu Yogyakarta

Diperbarui: 21 September 2015   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stasiun Tugu Yogyakarta (lebih dikenal Stasiun Jogjakarta sekarang) adalah stasiun dimana penulis naik kereta api untuk yang pertama kalinya. Disinilah harapan penulis saat masih kecil tercapai, yakni menaiki semua alat transportasi massal via darat, laut, dan udara. Dan betapa puas dan gembiranya, harapan yang sangat diimpikan saat masih kecil itu telah tercapai, dengan disertai membawa amanah untuk mencari ilmu di tempat perantauan. Mungkin bagi para Kompasianer hal seperti itu terlihat sepele, tapi sesungguhnya itu memiliki makna yang sangat berarti bagi penulis sendiri.

Dan untuk yang kedua kalinya, penulis kembali menginjakkan kaki ke tempat ini bersama seorang rekan dari satu universitas untuk mengamati stasiun yang bersejarah ini. Mungkin karena penulis memang bukan berasal dari Jogja, rasanya melihat stasiun ini tidak bosan-bosannya. Penulis sempat berpikir dan membayangkan, bagaimana kondisi dan fungsi stasiun ini jika dibandingkan antara masa lalu yang penuh perjuangan kemerdekaan dengan masa kini yang sedang menikmati kemerdekaan.

Perjalanan kami dimulai melewati bagian depan Stasiun Jogjakarta, yang tidak jauh dari Jalan Malioboro. Disini para penumpang yang baru datang akan disambut dengan sebuah tugu kereta api yang berukuran sedang dengan bertuliskan “STASIUN K.A JOGJAKARTA”. Disebelah sisi tugu adalah trotoar yang berteras untuk tempat pejalan para penumpang, untuk disebelah kirinya adalah tempat parkir kendaraan roda dua, sedangkan untuk kendaraan roda empat, diparkirkan tidak jauh di depan pintu masuk stasiun. Sekilas terlihat, bangunan stasiun ini sangat menarik, karena memiliki arsitektur gaya ala Eropa, mulai dioperasikan pada tanggal 2 Mei 1887, hingga sekarang.

Saat mulai memasuki stasiun, kita akan menemukan beberapa tempat dengan fungsi yang berbeda tentunya, disini adalah tempat kita untuk mencetak tiket sendiri, pembelian tiket, dan masih banyak lagi.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan kedepan, disini adalah tempat dimana bisa dibilang adalah tempat ruang tunggu para penumpang yang menggunakan jasa angkut kereta api. Disini kita juga bisa lihat beberapa jalur rel kereta api, ada berada di sisi kanan dan juga sisi kiri, tapi untuk yang sisi kiri kini tidak digunakan, jadi rel sebelah kananlah yang sekarang digunakan untuk perlintasan kereta api. Ruang tunggu disini penulis rasakan cukup nyaman, disini juga terdapat beberapa toko kecil yang menjual makanan dan minuman, televisi yang berukuran cukup besar sebanyak dua buah, dan yang membuatnya lebih menarik adalah di tengah-tengah ruangan ini terdapat mading yang berisikan sejarah Stasiun Kereta Api Jogjakarta dan juga kursi rotan tua yang pernah diduduki oleh Presiden Ir. Soekarno saat sedang menunggu kereta ap di stasiun ini.

Menurut beberapa sumber, dulunya stasiun ini digunakan sebagai tempat perlintasan kereta api yang mengangkut hasil sumber daya alam yang dieksploitasi oleh pihak Belanda,kemudian berpindah tangan ke pihak Jepang, dan akhirnya diambli alih oleh para pemuda kereta api Indonesia. Hal ini terjadi sebab Ismangil dan para pemuda kereta api lainnya pada awalnya melakukan pengambilalihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung. Saat itu juga mereka molontarkan pernyataan yang tegas bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Pihak Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia.Hal itu juga ditandai sebagai berdirinya “Djawatan Kereta Api Republik Indonesia” (D.K.R.I), yaitu perusahaan kereta api milik negara, juga sebagai landasan ditetapkannya tanggal 28 September 1945 sebagai peringatan nasional “Hari Kereta Api”.

Oleh karena hampir setiap hari terjadi provokasi di Jakarta, mengakibatkan status Presiden, Wakil Presiden, para menteri kabinet, dan pejabat tinggi negara menjadi tidak aman. Maka pada tanggal 1 Januari 1946 Bung Karno memberikan intruksi secara rahasia kepada pimpinan kereta api di Jakarta untuk merangkai kereta api khusus agar para elemen penting negara dapat diamankan dari Jakarta menuju Yogyakarta, dalam hal ini, Balai Yasa Manggarai diberikan amanah untuk mempersiapkan kereta api khusus tersebut secepatnya. Selama masa persiapan, dilakukan beberapa penelitian terhadap beberapa kereta yang tersedia, dan akhirnya diputuskan untuk menggunakan kereta api khusus inspeksi yang pernah digunakan Inspeksi Gubernur Jendral pada jaman kolonial Hindia Belanda sebelumnya. Selanjutnya dilakukanlah perawatan dan perbaikan kereta yang dikerjakan selama 24 jam tanpa henti dan dilakukan bergantian, selama masa persiapan itu pula, penjagaan Balai Yasa Manggarai diperketat. Pengerjaan selesai keesokan harinya pada tanggal 2 Januari 1946, kereta tersebut diberi nama Kereta Luar Biasa (K.L.B). Kepala bengkel pun langsung menghubungi dua pejabat D.K.R.I dan pukul lima sore diadakanlah acara serah terima. Dan perlu diketahui, lokomotif seri C2849 adalah lokomotif yang digunakan untuk mengungsikan Bung Karno dan Bung Hatta dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 3 Januari 1946, yang saat ini diabadikan di Museum K.A Ambarawa.

Ternyata, begitu banyaknya peristiwa yang terjadi pada stasiun tertua di pusat kota D.I Yogyakarta, memang sangat disayangkan jika tidak dipelihara nantinya. Harapan penulis sendiri, semoga stasiun ini tetap selalu terjaga, begitu banyak sejarah yang tercipta disini, dan sangat disayangkan untuk dilupakan. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa akan sejarahnya? "JAS MERAH!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline