Lihat ke Halaman Asli

Membangun Kembali Visi dan Misi Kota Jakarta (Menuju Jakarta MAS, Bag. 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

----------------------

Tulisan berikut adalah hasil pemikiran saya ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007. Visi dan misi untuk Jakarta yang saya tuangkan ini kemudian dirangkum dalam sebuah buku berjudul Jakarta MAS (Modern, Aman, dan Sejahtera) Beberapa data mungkin sudah out of date, namun demikian saya berusaha untuk menulis kembali agar tetap terjaga keaktualannya. Tulisan ini akan dirangkai dalam beberapa seri sehingga lebih mudah untuk dibaca dan menandai sesuai dengan sub judul. Terima kasih. Tulisan ini bisa juga dilihat di www.adangdaradjatun.com.

----------------------

Selama ini, positioning DKI Jakarta secara umum adalah: (i) Pusat Administrasi dan Pelayanan Masyarakat; (ii) Pusat Perdagangan dan Distribusi; (iii) Pusat Keuangan; (iv) Pusat Pariwisata; (v) Pusat Pelatihan dan Informasi; (vi) Pusat Ilmu Pengetahuan; dan (vii) Pusat Seni Budaya.

Namun positioning yang sangat luas seperti ini telah membuat Jakarta harus menanggung beban pembangunan sangat berat yang telah melampaui kapasitas dan daya tampung optimal Jakarta sebagai daerah pertumbuhan sehingga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Jakarta. Di saat yang sama, Jakarta kini mengalami perubahan lingkungan yag luar biasa cepat, baik yang dipicu oleh perubahan dalam negeri seperti arus demokratisasi dan otonomi daerah, maupun perubahan di tingkat global seperti globalisasi, perdagangan bebas dan terutama kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Maka, Jakarta dituntut merespon hal-hal diatas dengan melakukan perubahan-perubahan. Ke depan, Jakarta membutuhkan fokus pembangunan yang lebih tajam untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, meningkatkan kualitas hidup penduduk, meningkatkan daya saing kota serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pembangunan.

Dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya saat ini dan melihat permasalahan terkini dan tantangan ke depan, transformasi DKI Jakarta ke depan yang dianggap tepat adalah menjadi “Kota Jasa Modern, Aman dan Sejahtera (MAS)”.

Arah Reformasi yang Diinginkan

1. Pengurangan Fungsi Kota Jakarta.

Jakarta sebagai ibukota negara memiliki kekhususan yang diakui oleh Pasal 227 ayat 1 huruf c UU No. 32/2004. Walau demikian, kedudukan Jakarta sebagai ibukota sendiri ke depan sebaiknya segera diakhiri. Dalam jangka panjang, hal ini tidak produktif. Jakarta ke depan membutuhkan pengurangan fungsi kota karena beban pembangunan telah melampaui kapasitas dan daya tampung optimal Jakarta sebagai daerah pertumbuhan sehingga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Jakarta.

Jakarta ke depan sebaiknya diarahkan menjadi pusat ekonomi-bisnis, sedangkan pusat pemerintahan dialihkan ke daerah lain. Pemisahan fungsi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi-bisnis dari Jakarta akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan dinamika bisnis, menurunkan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta mempertahankan daya dukung alam terhadap pertumbuhan.

Perlu dipikirkan langkah-langkah perintis untuk memindahkan ibukota, seperti tentang perencanaan dan penanggung jawab kegiatan pemindahan ibukota ini. Pemindahan ibukota ini juga sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 pasal 227 ayat 3 huruf d tentang kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Pemindahan ibukota ini sebaiknya juga perlu diselaraskan dengan UU Penataan Ruang yang baru.

2. Kekhususan Dalam Pembiayaan Daerah, Terutama untuk Pembangunan Infrastruktur.

Ketentuan yang ada dalam UU No. 34/1999 pasal 29 ayat 2 adalah keuangan DKI Jakarta mengikuti ketentuan perundang-undangan yang ada, namun terbuka bagi adanya pembiayaan khusus dari APBN. Ketentuan ini secara umum sudah tepat, namun yang kemudian perlu dipertegas adalah untuk fungsi-fungsi apa saja pemerintah provinsi berhak meminta pembiayaan khusus kepada pemerintah pusat. Ketentuan khusus ini harus mengikuti prinsip umum “money follow functions” agar tidak menimbulkan ketidakpastian dalam sistem desentralisasi fiskal. Fungsi-fungsi yang pemerintah provinsi berhak meminta tambahan pembiayaan dari APBN sebaiknya difokuskan pada penyediaan infrastruktur lintas wilayah yurisdiksi khususnya transportasi, air dan sampah.

3. Kerjasama Antar Daerah untuk Pengelolaan Terpadu Jakarta Sebagai Megapolitan.

Untuk Jakarta Raya, kerjasama antar daerah untuk pengelolaan kawasan secara terpadu adalah suatu keharusan, dalam hal ini juga telah diatur dalam Pasal 30 UU No. 34/1999. Namun pola kerjasama antar daerah selama ini belum memberi kejelasan tentang bagaimana DKI Jakarta akan dikelola secara terpadu. Harus diperjelas, aspek-aspek mana saja yang merupakan kepentingan bersama semua daerah dan siapa saja yang memegang kewenangan tersebut.

Sementara itu, dalam jangka pendek, Jakarta membutuhkan perubahan arah kebijakan yang drastis untuk menjamin Jakarta ke depan berjalan se cara optimal.

Pertama, menahan laju kerusakan lingkungan. Ruang terbuka hijau kota harus segera direhabilitasi, pencemaran udara dan air harus dikurangi, daerah aliran sungai harus dinormalisasi dan ruang-ruang publik yang semakin luas harus terus ditambah. Tanpa perubahan radikal di bidang ini, Jakarta akan semakin tenggelam dalam air dan lumpur.

Kedua, membangun ekonomi kerakyatan dan menciptakan lapangan kerja untuk mengentaskan kemiskinan. Penggusuran dan razia PKL tanpa solusi harus dihentikan, hak-hak ekonomi rakyat harus dihormati. Birokrasi harus berubah dan berorientasi pada pelayanan. Pasar tradisional harus ditingkatkan daya saingnya, sektor informal potensial harus dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembangunan, BLK harus direvitalisasi dan program PPMK diarahkan untuk penciptaan pasar kredit mikro yang fleksibel.

Ketiga,percepatan pembangunan infrastruktur yang penting dan mendesak keberadaannya untuk mengatasi kemacetan dan banjir. Infrastruktur transportasi kota semestinya difokuskan pada mass rapid transportation (MRT) berbasis jalan raya (busway) dan berbasis rel (KRL), bukan monorail dan subway yang sangat mahal, tidak layak secara lingkungan dan tidak ekonomis secara bisnis-komersial sehingga rawan menimbulkan beban subsidi dalam anggaran publik. Sedangkan infrastruktur pengendali banjir harus difokuskan pada pengembangan BKT dan normalisasi daerah aliran sungai serta ruang terbuka hijau. (bersambung)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline