Lihat ke Halaman Asli

Depolitisasi Kampus dan Pembodohan Mahasiswa

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kepada Para Mahasiswa yang merindukan kejayaan

Kepada Rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan

Kepada Pewaris Peradaban yang telah menggoreskan

Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia

Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan

Demi memperjuangkan jiwa dan raga, untuk negeri tercinta...”

Wajah kampus sudah tak seperti syair diatas. Itulah yang saya rasakan setelah dua tahun saya menyandang gelar Mahasiswa. Saat saya kali pertama masuk di dunia kampus, masih jelas dalam ingatan saya, Presiden BEM menyanyikan lagu tersebut di hadapan seluruh mahasiswa baru termasuk saya pada waktu itu. Saya memang tidak merasakan langsung apa yang diperjuangkan oleh mahasiswa – mahasiswa terdahulu, akan tetapi syair tersebut menyentuh hati saya dengan merasakan gambaran kondisi masyarakat yang memang harus diperjuangkan.

Politik merupakan segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Pemerintah merupakan representasi dari suatu komunitas atau masyarakat yang ada pada suatu Negara untuk mengelola segala urusan yang ada masyarakat dengan sistemnya yang disebut pemerintahan. Politik seringkali hanya dikaitkan dengan pemerintah dan poitisi yang ada dalam DPR. Aktivitas politik dalam pandangan mahasiswa kebanyakan sekarang identik dengan aktivitas haram yang harus dijauhi akibat munculnya berita – berita negatif terkait dengan kasus – kasus yang menimpa para politisi. Tentu mahasiswa juga dewasa dalam berpikir untuk tidak mengikuti jalan – jalan yang dianggap buruk, salah satunya adalah politik.

Di kampus saya sendiri, perbincangan mengenai politik sangat jarang. Bahkan, kini Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Institut yang mestinya bergerak dalam bidang Sosial Politik mengubah nama Kementrian yang mengurus masalah Sosial Politik menjadi Kebijakan Publik. Memang bukan berarti penggantian nama malah membuat kampus saya tidak mempunyai taji lagi dalam urusan politik. Akan tetapi, hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan Mahasiswa yang sadar akan politik pun menjadi anti terhadap kata politik.

Dalam era sekarang, Mahasiswa lebih senang dengan independensinya, bahwa apa yang dia bawa adalah ideologi mereka sendiri tanpa dicampuri urusan politik tertentu. Mahasiswa sekarang lebih senang bergerak atas nama kemanusiaan dan sosial untuk terjun langsung berkontribusi pada masyarakat. Kebanyakan Mahasiswa yang seperti ini akan cenderung menolak ketika ada bau – bau partai politik masuk di kampusnya. Mereka menyebut diri mereka sebagai Mahasiswa poros tengah yang ada di Kampus, berjuang mempertahankan idealisme mereka sebagai Mahasiswa. Tidak memihak bau – bau partai apapun yang muncul di kampus. Akan tetapi, ketika disodorkan dengan nama – nama petinggi pemerintahan atau orang yang layak menjadi pemimpin negeri ini kepada mereka, akan banyak kita temui, mereka mengidolakan orang – orang yang ada di dalam aktivitas Partai Politik tertentu.

Seringkali personal attack yang dibentuk oleh media mampu meruntuhkan idealisme mahasiswa, khususnya dalam pilihan politiknya secara tidak sadar. Pemberitaan tentang kebaikan seseorang dan aksi nyata nya yang menggugah hati, menjadikan mereka menghapuskan sendiri garis pembatas hubungan yang mereka buat antara mereka dengan partai politik sang idola tersebut. Sebenarnya jika kita menganalisa fenomena yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa yang seperti ini, sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik di masa yang akan datang. Kalau sekarang kita jumpai survey – survey ilmiah yang menerbitkan hasil surveynya dengan menyebutkan bahwa Partai Politik yang tidak punya figur andalan sangat jarang diminati pemilih. Maka di masa yang akan datang hal yang sama akan terjadi.

Tentu ini sangat buruk bagi iklim politik Indonesia, bahkan sangat tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang kita sepakati. Satu orang baik tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadikan kita memilih suatu partai politik tertentu. Karena yang harus diketahui sekali lagi oleh Mahasiswa, bahwa Partai Politik bukan hanya tentang idola mereka!  Apalagi untuk memimpin Negara yang luas ini, hanya impian jika melihat satu figur pemimpin saja. Oleh karena itu harus dilihat secara keseluruhan eksistensi dan manfaat yang telah diberikan oleh Partai tersebut kepada bangsa.

Dalam hal memilih sikap politik, masyarakat atau mahasiswa minimal harus mengetahui visi misi Partai Politik tersebut, hingga mengetahui sistem kaderisasi nya maka bolehlah memberikan sikap politik pada partai tertentu. Sistem kaderisasi merupakan hal penting yang harus diperhatikan, karena salah satu tugas Partai Politik adalah menyiapkan kader – kader Pemimpin yang layak memimpin Bangsa Indonesia. Apabila dalam dapur kaderisasinya saja sudah rusak, maka bisa dipastikan pemimpin yang mereka hasilkan juga jauh dari kata berkualitas dan layak. Sekarang banyak kita temui Partai Politik malah mencari figur pemimpin dari luar partainya, ini merupakan hal yang kontradiktif dengan tugas partai politik. Kalau bisa disimpulkan beberapa partai tersebut hanya menjaga eksistensinya dengan menggaet figur – figur yang sudah di idolakan oleh masyarakat. Fenomena Partai Politik mencari figur pemimpin ini juga merupakan akibat dari pembodohan Mahasiswa tentang politik melalui gerakan poros tengah yang banyak didengungkan oleh aktivis kampus tertentu. Saya tidak menuding dan menyalahkan sepenuhnya gerakan poros tengah, akan tetapi harus diketahui bahwa gerakan poros tengah sedikit banyak sudah membuat Mahasiswa bodoh dalam menentukan sikap politik. Apalagi harus diakui bahwa gerakan poros tengah juga produk Partai Politik tertentu untuk mematahkan kaderisasi Partai – Partai Politik lain yang sejak lama membangun kaderisasinya dalam organisasi mahasiswa.

Depolitisasi kampus yang merupakan akibat dari tumbangnya rezim orde baru tidak bisa terus diteruskan dalam kehidupan kampus. Apa yang akan terjadi di Indonesia khususnya pada masa mendatang, tergantung dalam kehidupan kampus di Indonesia. Kampus merupakan pusat industri pemikiran, jika aktivitas jual beli pemikiran dalam kampus sudah terhenti, maka tidak akan ada proses pembelajaran. Coba bayangkan saja, jika Mahasiswa harus belajar tentang pemikiran, ideologi, dan politik ketika mereka sudah menjabat jabatan tertentu dalam pemerintah, maka akan dijadikan panggung uji coba belajarnya mereka. Dalam belajar, kesalahan merupakan hal yang tidak boleh dipermasalahkan. Maka jangan salahkan jika kita akan dihadapkan banyak masalah – masalah politik yang muncul di masa depan akibat kebodohan kita (mahasiswa) dalam berpolitik.

Sudah menjadi anugrah yang diberikan dari Tuhan bahwa Negara kita, Indonesia, dikelola dengan melibatkan kata “politik” di dalamnya. Segala cara yang dilakukan untuk mengurus kepentingan masyarakat. Mahasiswa tidak akan selamanya turun ke jalan langsung membantu dalam kegiatan amal atau sosial. Mahasiswa harus sampai pada taraf pintar berpolitik agar impact yang diberikan menjadi luas dan bermanfaat untuk masyarakat. Tentu dengan sikap dan pemikiran politik yang benar dan tidak dalam tahapan belajar, sehingga kedepannya permasalahan politik tidak muncul banyak seperti sekarang. Hingga kita benar – benar memperjuangkan jiwa dan raga kita untuk negeri tercinta bukan riuh dalam urusan politik semata. /aay




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline