Dari pinggir jalan
Beberapa waktu lalu saya dan suami diajak ke daerah Gunung Pati oleh anak menantu cucu. Mereka bersama dengan beberapa teman komunitas cel gereja mengadakan acara hiking menyusuri jalan perkampungan penduduk serta menyeberang sungai kecil yang ada di lokasi tsb.
Tetapi kami berdua tidak ikut hiking, karena terutama untuk melintasi sungai yang berbatu batu tidak lagi gampang untuk kami taklukkan. Apalagi dengan kondisi lutut kiri yang terindikasi osteoarthritis medan yang sedemikian itu tentunya tidak dianjurkan. Tetapi karena kebetulan hari itu hari libur, sehingga akhirnya kami mau saja diajak serta.Sementara seluruh rombongan memulai aktivitas hiking, kami berdua hanya menunggu di ujung jalan masuk pemukiman dekat bekas bumi perkemahan pramuka sambil menjaga mobil yang diparkir di sebuah lapangan kecil di seberang nya.
Untuk mengisi waktu kami mencoba berjalan kaki santai di area lokasi tersebut. Cukup banyak pepohonan tumbuh di situ, mulai dari rumpun bambu, berbagai pohon berbatang tinggi dan besar, sampai tanaman semak yang terhampar di kanan kiri jalan setapak yang kami lalui. Terasa udara begitu segar dan angin semilir menyentuh wajah kami. Cuaca sangat cerah pagi menjelang siang hari itu. Sampai suatu saat di tepi jalan yang kami lalui, saya menjumpai sejenis tanaman hias, entah apa namanya. Saya hanya mengenalinya sebagai daun kuping gajah, karena bentuk daunnya cukup besar dan lebar. Berwarna hijau segar dengan semburat warna pink kemerahan serta putih di bagian tengahnya. Cantik banget dan ternyata cukup banyak tumbuh berjejer di sana sini. Dan ada juga yang hanya berwarna tunggal, hijau matang. Tetapi saya lebih terpikat dengan tanaman kuping gajah yang ada warna pinknya. Sehingga timbul keinginan untuk mengambilnya agar dapat ditanam di rumah.
Saya pikir tanaman itu tumbuh liar di alam terbuka, bukan khusus milik warga di kanpung itu. Jadi saya coba ambil beberapa, ada yg masih kecil tetapi ada juga yang sudah tumbuh besar. Walaupun suami saya mengatakan apakah mungkin bisa hidup kalau ditanam di rumah. Karena udaranya jelas beda, belum lagi masih nunggu sekian jam lagi baru bisa pulang.
Saat ini tanaman itu masih hidup dan tumbuh cukup baik di sepetak tanah di rumah kami. Setiap kali saya memandangnya saya begitu takjub akan kebesaran Tuhan. Dari pinggir jalan , Tuhan mendandani ciptaanNya sedemikian rupa menjadi sesuatu yang bisa menumbuhkan rasa syukur. Dan setiap kali saya memandanginya seperti diingatkan: tak ada yang salah dengan pinggir jalan. Walaupun pinggir jalan, amat dekat dengan pemahaman sebuah tempat yang kurang bergengsi. Tempat yang notabene sembarangan bahkan bisa berkonotasi negatif. Namun dari sebuah tempat yang sama sekali tidak diperhitungkan manusia ternyata tetap saja bisa muncul makna yang luar biasa. Begitu juga denga hidup, tidak peduli dari mana seseorang berasal, tidak peduli dari keluarga apa dia dilahirkan, karena sang Pencipta membuatnya dengan sempurna. Sebenarnya kodrat kita adalah menghidupi hidup menjadi lebih hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H