Banten adalah salah satu provinsi di Pulau Jawa, Indonesia. Di provinsi ini pernah berdiri sebuah kerajaan. Sultan Maulana Hasanudin adalah sultan pertama di Kesultanan Banten pada tahun 1527-1570 ini mulai mendirikan kerajaan Banten yang sejak pengambil alihan kekuasaan oleh kerajaan Demak. Pada massa kesultanan Maulana Hasanuddin ini menguasai hingga kedua sisi selat sunda dan meluas hinga ke Sumatra Selatan.
Pada masa Maulana Hasanuddin kesultanan Banten menunjukkan signifikan kemajuan sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Sultan Maulana Yusuf sebagai kesultanan yang kedua sekaligus sebagai pengganti ayahnya hanya memberikan strategi pembangunan lebih dititik beratkan pada pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian (Hadiwibowo, 2013).
Puncak kejayaan dari kesultanan Banten mulai berjaya dan berkuasa di Nusantara pada masa Kesultanan Abdulfatah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa kepemimpinannya Sultan Ageng Tirtayasa telah memberikan pengaruh besar dan perubahan Kesultanan Banten pada masanya, dan membuat sosial masyarakat Banten menjadi sejahtera. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai orang yang ahli dalam strategi dan berhasil membina mental para prajurit Banten dengan cara mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, Makassar, dan daerah lainnya.
Dimasa kejayaan Kesultanan Banten ini pernah beberapa kali menimbulkan konflik karena upaya yang terus dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengembangkan Kesultanan Banten ini dengan melakukan berbagai kerja sama Internasional dan melalui perekonomian perdagangan untuk mendapat kesejahteraan masyarakat Banten. Kolonial Belanda sebetulnya memang benci terhadap Sultan Ageng Tirtayasa karena seringkali melakukan perlawanan terhadap VOC. Sehingga Belanda selalu mencari celah untuk menghancurkan Kesultanan Banten.
Setiap kemajuan akan mengalami kemunduran dan kelemahan akibat dari politik Kesultanan Banten ini dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk menghancurkan Kesultanan Banten ini dengan mengkambing hitamkan Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji. Sehingga terjadilah perang saudara (antara ayah dan anak).
Konflik tersebut sebenarnya memang dimanfaatkan oleh kolonial Belanda karena kelemahan dari sistem politik Kesultanan Banten dengan mengadu domba antara Sultan Haji yang dengan mudahnya dihasut oleh Belanda untuk melakukan perlawanan dan pemberontakan terhadap ayahnya sendiri (Sultan Ageng Tirtayasa). Sehingga terjadilah perang saudara tersebut. Adapun tujuan lain Sultan Haji melakukan perlawanan terhadap ayahnya adalah untuk mendapatkan gelar Kesultanan jatuh kepadanya.
Pada tahun 1684 Sultan Haji yang naik tahta dan berkuasa selalu di bayang-bayangi oleh Belanda (Yoga Permana Wijaya, 2014). Sejak saat itu, Belanda mulai menguasai kesultanan Banten secara perlahan-lahan dengan melalui perjanjian atau persyaratan yang sudah disepakati antara Belanda dengan Sultan Haji. Belanda meminta bayaran besar terhadap bantuan VOC kepada Sultan Haji, diantaranya mulai menguasai monopoli perdagangan dan hubungan Internasional, wilayah lampung diserahkan kepada VOC.
Dari uraian diatas, hal yang menjadi faktor utama dari runtuhnya Kesultanan Banten adalah lemahnya sistem politik sehingga terjadi ketidakpercayaan seorang anak kepada ayahnya dan dengan mudahnya Belanda mengkambing hitamkan Kesultanan Banten sehingga terjadilah perang saudara (antara anak dan ayah) tersebut. Hingga kini, politik kambing hitam masih sering terjadi sampai sekarang. Namun, tidak hanya di daerah Banten saja. Jika, Banten ingin maju seperti masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa dibutuhkan sistem politik yang mementingkan kepentingan umum bukan mementingkan kepentingan pribadi layaknya Sultan Haji yang menginginkan Kepemimpinan Sultan jatuh kepadanya. Politik seperti ini pula tidak baik karena dengan mudahnya dapat diadu domba dengan pihak luar (eksternal) seperti yang dilakukan Belanda dengan tujuan mengahncurkan Kesultanan Banten.
Daftar Pustaka :