Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Lelaki yang Benci Penjual Koran

Diperbarui: 1 Agustus 2016   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar dari http://www.sternlawnj.com

Sambil menunggu lampu merah berganti hijau, lelaki itu berusaha mengatur nafas di motornya. Cuaca tidak begitu panas, tapi hatinya terasa agak panas siang ini. Dia baru saja selesai rapat di kantornya. Bos memarahinya tadi karena penjualannya jauh di bawah target. Di rapat sebelumnya dia sudah menyatakan kenapa penjualannya menurun. Distributor lain punya produk baru yang lebih unggul dan harganya pun lebih murah. Bosnya tak mau tahu, yang bosnya mau adalah para sales harus bekerja lebih keras dan lebih keras lagi.

50 detik lagi lampu hijau menyala, lelaki itu masih menunggu. Simpang itu dilaluinya tiap hari, tak ada yang istimewa. Deretan ruko yang bersesakan, suasana yang gersang, spanduk-spanduk, dan sebuah LCD besar yang tak lelah menayangkan iklan. Itulah yang dia dapati setiap melalui simpang itu. Ada satu lagi, para penjual koran! Sejak pertama kali lewat di simpang itu, dia langsung tidak suka dengan para penjual koran.

Dalam pandangannya, para penjual koran itu bisa mengganggu lalu lintas dan membahayakan keselamatan. Terlebih lagi yang menggendong anaknya ataupun yang menyuruh anaknya berjualan, tak ada bedanya mereka dengan pengemis. Bisa jadi orang malah membeli koran karena kasihan pada mereka, bukan karena butuh berita. Apa nanti korannya dibaca? Atau malah jadi pembungkus barang-barang di rumah? Entahlah, pikirnya.

Seorang wanita berumur 40-an menghampirinya, menawarkan koran. Kulit wanita itu kehitaman karena sering tersengat matahari. Walaupun sudah pakai jilbab dan bertopi, wajah itu tak bisa sepenuhnya terlindung dari matahari dan asap kendaraan. Bukan hanya kehitaman, wajah wanita itu juga kusam. Wanita itu hanya tersenyum padanya sambil mengangkat sebuah koran lokal. Lelaki itu kemudian menggeleng dan memaksakan sebuah senyum. Lampu hijau menyala, lelaki itupun melajukan motornya. Lewat spion dilihatnya sejenak wanita itu....

***

"Bu, Aku mau cari kerjaan lain..." ucap lelaki itu pada ibunya yang sedang menyiram bunga-bunga dalam pot. Sengaja dia menunggu ayahnya pergi kerja untuk mencurahkan kegalauannya pada sang ibu.

Sang ibu belum menjawab, terus saja menyirami bunga-bunga. Ketika air dalam penyiram itu habis, duduklah ia di kursi samping anaknya.
 "Kamu sudah dapat kerjaan baru?"
 "Belum Bu, rencananya hari ini mau cari info lowongan"
 "Kamu masih ga mau kerja honor di kantor Ayah?"
 "Ga!"

Sesaat, hening di beranda rumah itu. Keduanya mungkin terkenang kejadian masa lalu, yang cukup membekas di keluarga itu. Sang Ayah pernah berusaha memasukkan sang anak sebagai tenaga honorer di kantor tempatnya bekerja. Pimpinan di perusahaan itu sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan sang anak. Dan betapa berangnya sang Ayah karena sang anak menolak posisi yang ditawarkan pimpinannya. Alasan sang anak, posisi itu tidak cocok untuknya. Tidak profesional jika kita mengerjakan sesuatu yang tidak kita sanggup. Tidak kompeten. Lebih dari itu, sang anak tak mau dianggap melakukan praktik nepotisme, diterima kerja hanya karena suka sama suka.

"Jadi sekarang kamu mau kerja apa?"
 "Belum tahu Bu"

Sang ibu sejenak menarik nafas panjang, kemudian berkata:
 "Ya udah, cari kerjaan yang mantap, yang senang hati kamu lakukan, urusan gaji belakangan. Hari ini kamu masih ke kantor kan?"
 "Iyalah Bu, masa Aku keluar begitu aja, ga profesional namanya."

Lelaki itu menyalami dan mencium tangan ibunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline