Lihat ke Halaman Asli

Menwa = Ormas?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Resimen Mahasiswa, atau biasa di kenal dengan singkatan Menwa, organisasi mahasiswa yang berawal dari gagasan mendiang Jenderal Nasution untuk mengantisipasi gerakan komunis di universitas. Sekitar masa orde lama sampai orde baru, organisasi ini cukup menjadi booming di kalangan mahasiswa karena hanya orang-orang terpilihlah yang dapat masuk dan bertahan di dalam organisasi ini. Organisasi berbasis semi-militer, dengan pendidikan ala militer yang disesuaikan dengan tujuan didirikannya pada masa itu. Bahkan pada masa itu Menwa dikenal sebagai salah satu "adik" kesayangan dari ABRI, khususnya angkatan darat.

Seperti organisasi pada umumnya, Menwa juga mengalami "penurunan" dalam perkembangannya, yang dialami pada saat era reformasi. Cukup dimaklumi bahwa pada saat itu Indonesia sedang mengalami pergerakan besar, yang pada saat itu bertujuan untuk menggulingkan rezim Soeharto. Ketika Soeharto berhasil digulingkan pun, kondisi menjadi serba kacau karena adanya penolakan terhadap militer. Pada era tersebut, Menwa pun terkena imbasnya. Menwa yang "bergaya" militer menjadi kambing hitam karena di anggap sebagai perpanjangan tangan dari ABRI di dunia kampus.

Pada saat ini penulis cukup melihat bahwa grafik perkembangan Menwa sedang bergerak naik perlahan-lahan. Sudah cukup banyak pergerakan yang muncul untuk kembali membuktikan eksistensi Menwa di Indonesia. Terlihat dari banyaknya tulisan yang membahas tentang keberadaan dan kegiatan Menwa secara nasional. Di satu sisi, penulis melihat bahwa ini adalah perkembangan yang sangat positif bagi Menwa Indonesia yang pada saat reformasi mengalami penurunan yang sangat drastis. Tapi di sisi lain, masih ada banyak hal yang penulis rasa perlu diperbaiki dari dalam diri Menwa itu sendiri.

Pertama, tugas Menwa saat ini. Pada masa awalnya didirikan, tugas Menwa terlihat dengan sangat jelas, yakni untuk penanggulangan gerakan komunis di kampus. Secara teoritis, tugas Menwa saat ini pun tidak berbeda jauh, sebagai mediator kampus dengan lingkungan di luar kampus, khususnya TNI dan Polri. Akan tetapi, kondisi lingkungan kampus yang saat ini cenderung lebih stabil apabila dibandingkan dengan kondisi sebelum era reformasi, membuat tugas Menwa menjadi tidak jelas. Tugas Menwa secara praktis yang seharusnya terlihat secara nyata, menjadi tidak jelas, dan masyarakat pun menjadi mempertanyakan apa gunanya keberadaan Menwa saat ini. Bahkan penulis yang juga merupakan alumni Menwa pun tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan pasti.

Kedua, penggunaan atribut. Penulis melihat cukup banyak oknum kurang bertanggungjawab yang menyalahgunakan penggunaan atribut Menwa. Contohnya penggunaan emblem atau brevet. Penggunaan emblem atau brevet pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa seseorang telah melewati suatu pendidikan dan memiliki kualifikasi tertentu, seperti brevet para yang menunjukkan bahwa seseorang yang menggunakan brevet tersebut sudah memiliki kapabilitas untuk melakukan para dasar (terjun payung). Tapi pada saat ini, penggunaan brevet terlihat "kosong" dan atribut hanya bertujuan untuk "meramaikan" seragam dan untuk "gaya-gayaan", karena banyak oknum yang menggunakan brevet-brevet tertentu tanpa mengikuti pendidikannya terlebih dahulu. Belum lagi dengan munculnya penggunaan seragam dengan motif loreng tertentu yang "diakui" sebagai seragam Menwa dari salah satu daerah. Padahal seragam Menwa se-Indonesia aslinya menggunakan warna hijau (Olive Green). Penyalahgunaan atribut ini, menurut penulis, hanya membuat citra Menwa menjadi seperti ormas lain yang menggunakan atribut bernuansa militer.

Ketiga, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Masih berkaitan dengan paragraf sebelumnya, pada dasarnya peraturan penggunaan seragam dan atribut lainnya tertera dengan jelas pada juklak dan juknis. Ya, Menwa mempunyai juklak dan juknis sendiri. Mengapa pada kenyataannya masih banyak modifikasi dan penyalahgunaan atribut seperti yang diuraikan pada paragraf di atas? Penulis berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh tidak up to date-nya juklak dan juknis, serta tidak adanya tindak lanjut yang tegas terhadap tindakan indisipliner, secara spesifik pada masalah penggunaan seragam dan atribut.

Keempat dan terakhir, kebanggaan berlebihan. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, begitu pula dengan kebanggaan terhadap Menwa. Penulis menemui bahwa pada salah satu daerah, para anggotanya lebih bangga untuk membawa nama Menwa daerahnya (Menwa di setiap daerah memiliki nama masing-masing, contohnya Menwa Jayakarta untuk daerah DKI Jakarta, Mahakarta untuk daerah Jogjakarta, Mulawarman untuk Kalimantan Timur, dll.) daripada nama Menwa itu sendiri. Kebanggaan berlebihan inilah yang menyebabkan mereka mempunyai identitas tersediri, dan seolah-olah terpecah dari Menwa secara keseluruhan.

Sebagai penutup, penulis hanya ingin menyampaikan, bagaimana kita mau dihargai apabila kita sendiri belum bisa menghargai apa yang kita miliki? Bagaimana kita mau menghargai hal yang besar apabila kita belum bisa menghargai hal-hal kecil? Resimen Mahasiswa, dari namanya saja terlihat dengan jelas bahwa kita adalah mahasiswa, mahasiswa yang juga mengerti tentang ilmu olah keprajuritan. Mahasiswa yang lebih dari mahasiswa secara umum karena mengerti bagaimana harus bersikap dan berperilaku. Apabila kita hanya menjadi Menwa untuk "gaya-gayaan" dan bersikap arogan, kita tidak berbeda dengan ormas-ormas lain yang berkedok atribut militer. Masih mau dianggap sebagai ormas? Atau sebagai komponen cadangan Negara?

WCDS,

NBP: 07880733054




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline