Lihat ke Halaman Asli

Pahlawan Masa Kini: Pahlawan Bagi Diri Sendiri

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pahlawan. Hero. Satu kata yang kental asosiasinya dengan sifat rela berkorban, semangat juang, dan keberanian. Satu kata yang begitu didengar langsung membuat kita membayangkan sosok para pejuang kemerdekaan, superhero ala komik, atau bahkan beberapa orang yang memiliki jasa tertentu bagi diri kita.

Tulisan ini saya buat sebagai cara saya merayakan Hari Pahlawan, sebagai sebuah upaya untuk mengingatkan, bahwa kita semua bisa menjadi pahlawan. Tidak perlu dengan menjadi pahlawan negara, tapi cukup dimulai dengan menjadi pahlawan bagi diri sendiri dan keluarga.

Realita Fenomena di Indonesia

Pahlawan bagi diri sendiri. Kalimat ini mungkin memang sekilas terkesan egois. Seorang dapat dikatakan pahlawan apabila ia “menyelamatkan” atau memberikan suatu jasa tertentu bagi orang lain dan lingkungannya. Akan tetapi perlu diingat bahwa sebelum kita mampu untuk “menyelamatkan” orang lain, kita juga harus mampu untuk “menyelamatkan” diri kita sendiri.

“Menyelamatkan” diri sendiri sebelum “menyelamatkan” orang lain, sebab fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini masih kebalikan dari pernyataan ini. Masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang berlagak ingin “menyelamatkan” orang lain, padahal belum mampu “menyelamatkan” dirinya sendiri. Beberapa menggunakan topeng alasan kemanusiaan, dengan wajah mencari sensasi atau jaga gengsi di balik topeng tersebut.

Masih banyak pula masyarakat Indonesia yang belum mampu “menyelamatkan” dirinya dari jerat kapitalisme, terbawa arus mengikuti mode dan gaya hidup, yang belum tentu sesuai dengan apa yang mereka inginkan, dan belum tentu sesuai dengan kemampuan. Dengan topeng alasan mengikuti perkembangan jaman, tapi lagi-lagi sebenarnya gengsi yang diutamakan.

Belum lagi dengan pola pemilihan pekerjaan yang seringkali mengkhianati panggilan diri. Pemilihan pekerjaan yang umumnya pada saat ini membuat orang “hidup untuk bekerja”, dan bukan “bekerja untuk hidup”. Pola pemilihan pekerjaan yang hanya memikirkan kesejahteraan finansial, tapi belum tentu memberikan kesejahteraan mental.

Masih banyak lagi contoh lain yang bisa kita lihat dengan mata kepala sendiri, yang membuktikan bahwa bangsa kita masih membutuhkan "pahlawan-pahlawan", yang mampu dan mau berjuang untuk memerdekakan bangsa kita dari penjajahan mental yang sudah dan masih terjadi, secara disadari maupun tidak disadari.

Kepahlawanan

Seorang pahlawan itu berani dan memiliki semangat juang yang tinggi. Berani untuk memperjuangkan apa yang ia anggap dan ia yakini benar. Meyakini benar bukan tanpa alasan, melainkan melalui proses pemikiran yang panjang dan dapat membawa perubahan. Memiliki keyakinan, dan bukan ikut-ikutan.

Seorang pahlawan juga visioner dan rela berkorban. Visioner, mampu untuk melihat jauh ke depan, mampu melihat apa yang tidak dilihat oleh kebanyakan orang, yang pada akhirnya membuat ia rela untuk mengorbankan gengsi, bahkan harga diri. Karena ia tahu apa yang dibutuhkan, paling tidak untuk dirinya, yang ia juga tahu akan berguna untuk sekitarnya.

Turun tangan, bukan memerintahkan. Semua orang yang menjadi pahlawan bukanlah orang yang hanya bisa memerintah dari balik meja, melainkan orang yang ikut terjun ke lapangan bersama rekan-rekannya.

Aktualisasi diri. Seorang yang disebut pahlawan mampu untuk berani memperjuangkan dengan ikut turun tangan, dengan pemikiran yang jauh ke depan, bukan karena gengsi, melainkan sudah mencapai aktualisasi diri.

Mari, kita rayakan Hari Pahlawan ini, bukan dengan hanya mengenang jasa para pahlawan, tapi juga memanfaatkan kemerdekaan yang sudah mereka raih. Dengan langkah awal yang sederhana dan nyata, tanpa ritual dan upacara. Dengan menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri, sebelum akhirnya menjadi pahlawan bagi sekitar kita di lain hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline