Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) harus menjadi renungan penguatan dan perbaikan demokrasi kita. Jangan ada lagi pengabaian terhadap berbagai bentuk pengangkangan atas pelembagaan demokrasi di negeri ini. Sesesak apa pun, menghormati dan menjunjung tinggi seluruh putusan perangkat hukum yang bersifat final dan mengikat (legally binding) merupakan prasyarat mutlak bagi kesehatan demokrasi kita.
Dalam kondisi tertentu, "turbulensi" politik tersebut memang agak mengganggu irama atau ritme demokrasi kita. Namun, kondisi semacam ini menjadi litmust test yang akan semakin menempa, mendewasakan dan menguatkan fondasi demokrasi kita.
Intervensi apa pun terhadap keberadaan kelembagaan demokrasi kita tidak boleh merubah arah demokrasi dari tujuan utamanya; kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Oleh karena itu, pesimisme atas demokrasi bukan alasan bagi bangsa ini untuk berpaling dari demokrasi. Bagaimanapun kita telah berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.
Krisis demokrasi Jika bisa dikelola dengan baik, terutama melalui kerangka ketaatan mutlak terhadap penegakan hukum, berbagai bentuk gangguan dan intervensi politik tak akan menggoyahkan fundamental demokrasi. Namun, sekecil apa pun gangguan itu tak boleh dianggap remeh karena bisa menciptakan ketidak percayaan publik atas demokrasi.
Przeworski (2019) menyebut kondisi semacam ini sebagai krisis demokrasi. Yakni ketika aspek-aspek definitif dan fundamental absen dalam tubuh demokrasi; pemilu yang kompetitif, hak-hak sipil yang terjamin, dan penegakan hukum yang adil.
Tanda-tanda krisis demokrasi yang juga dapat dirasakan dengan jelas adalah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhdaap partai politik saat ini, penarikan kepercayaan masyarakat dari lembaga demokrasi dan para politisi, atau ketidak mampuan pemerintah mengelola tatanan publik tanpa represi.
Barang kali indikator krisis demokrasi yang paling menonjol adalah runtuhnya tatanan publik yang ada. Dalam ungkapan juan j linz, krisis demokrasi paling serius adalah ketika tatanan publik tidak bisa dijalankan di atas kerangka kerja demokrasi.
Kondisi krisis demokrasi dapat membuka celah bagi masuknya sistem non-demokrasi, seperti otoritarianisme, oligarki dan semacamnya untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat.
Dalam kondisi ekstrem, kegagalan demokrasi dapat menciptakan kegagalan suatu negara, akibat ketidakmampuan negara mengelola dan mengatasi krisis demokrasi. Dalam kondisi semacam ini, bukan tidak mungkin khalayak merindukan kembalinya sistem pemerintahan lama (non-demokrasi).
Salah satu titik rawan bagi munculnya krisis demokrasi adalah pada aspek penegakan hukum yang lemah dan tidak otoritatif akibat masuknya faktor konflik kepentingan dalam proser pengambilan putusan hukum. Kasus yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum MKMK melakukan intervensi hukum dapat dilihat sebagai pintu masuk munculnya krisis demokrasi.