Degradasi kebaikan seakan telah menjadi suatu penyakit kronis yang sulit ditemukan obatnya. Kebaikan bak menjadi suatu komoditas yang langka untuk diperdagangkan. Nilai kebaikan menjadi sesuatu yang amat mahal dan sakral sehingga menarik para pendusta untuk mengklaim kebaikan semu yang berbalut kepalsuan. Kebaikan-kebaikan semu inilah yang sekarang ini menjadi sebuah realitas yang diterima oleh masyarakat awam.
Pengalaman dan penghayatan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan moral kebaikan pelan-pelan mulai dilupakan. Ritus – ritus keagamaan yang seyogyanya menjadi jembatan eksistensialnya manusia dalam kebaikan seakan telah menjadi seremonial tanpa mebuahkan ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah. Adanya ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah akan menjadikan manusia memiliki kesalehan ritual (Iman) dan kesalehan sosial (akhlak). Inilah kedahsyatan spiritualitas yang menggembleng manusia untuk menjadi asketis, memiliki ketajaman akal-budi,taat,dan takwa, sekaligus kesadaran untuk berempati, berbagi serta peduli atas sesama (the others).
Pencapaian transedental inilah yang layak dijadikan renungan secara kolektif sekaligus menjadi modal dasar atas praksis kehidupan. Sehingga kita tak hanya asyik dengan ritus melainkan juga bisa lulus untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran, kebaikan dan keindahan merupakan nilai-nilai yang selalu rentan untuk tenggelam atau ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kehidupan yang cenderung mengejar materi, kekuasaan dan kefanaan lainnya. Liberalisme, kuasa kapital dan konsumerisme yang mendominasi negeri ini, telah mendidik masyarakat untuk menjadi hedonis (pengejar kenikmatan duniawi) dengan jalan apapun, termasuk penyalahgunaan amanah. Ukuran nilai keutamaan pun bergeser dari akal sehat. Kebenaran tidak lagi didasarkan pada logika,hati nurani dan spiritualitas, melainkan pada kepentingan sesaat yang cenderung sesaat. Maka, tak heran jika yang menguat bukan kebenaran tapi pembenaran.
Begitu juga dengan ukuran kebaikan, bukan lagi didasarkan pada kepantasan, kewajaran dan etika, melainkan pada keinginan dan kesenangan belaka. Akibatnya, Orang gagal menemukan kebaikan melainkan justru keburukan yang dipermak menjadi (seolah-olah) kebaikan, orang mulai malas mengeksplorasi potensi-potensi dalam dirinya. Hakikat manusia sebagai homo estetikus telah mulai bergeser menjadi makhluk yang menyukai vulgarisme. Lihatlah perilaku masyarakat yang kini cenderung norak di dalam mengekspresikan diri maupun memperjuangkan agenda kepentingannya yang terkesan hanya mengekor pada hawa nafsu.
Tantangan terbesar dalam zaman yang menyembah pragmatism dan hedonism adalah bukan hanya menjadi orang baik (secara personal,ritual). Melainkan juga menjadi manusia yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi,kapabilitas yang berasaskan spiritualitas (Illahiyah) dan berorientasi sosio-kultur untuk membangun nilai-nilai peradaban.
Ke dalam diri kita, kita harus bersikap ‘secukupnya’ dalam soal pemilikan materi. Kita perlu mengenali batasan kepemilikan atas dasar kesadaran etik,moral dan norma. Bukan justru menjadi makhluk yang menyembah berhala materi. Problem manusia saat ini antara lain adalah pada hilangnya ‘rasa cukup’,ketulusan dan rendah hati, sehingga mereka ‘terbutakan’ serta saling berlomba-lomba untuk kemaruk, saling menjatuhkan, dan saling merendahkan baik dalam soal materi, kekuasaan, maupun segala bentuk kenikmatan fana lainnya.
Hawa nafsu yang menodai spiritualitas (Illahiyah) termanifestasikan dalam sifat kemaruk, ketidak tulusan dan kesombongan. Sifat tersebut adalah kegelapan yang menabiri pandangan hati nurani, logika dan akal sehat atas cahaya kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam kegelapan itu orang hanya bisa menjadi mesin kepentingan dirinya sendiri (egoisme). Menumpuk harta, saling merendahkan, saling menjatuhkan, tak peduli pada sesama dan praktik-praktik keserigalaan menjadi akibatnya. Kedzoliman pun terpicu dari sikap memberhalakan hawa nafsu. Penderitaan sesama menjadi realitas yang memedihkan hati.
Ironisnya hal itu justru diciptakan oleh sikap mengekor pada hawa nafsu baik secara personal, maupun sistemik-struktural. Maka, jangan mengaku orang saleh dan beriman jika di disekitarmu masih ada kedzoliman dan penderitaan. Disitulah kesalehan,keimanan dan agama dengan spiritualitasnya menjadi cahaya kolektif untuk menempuh proses transedental. Sebuah proses yang membebaskan manusia dari kefakiran material - spiritual sekaligus meninggikan nilai diri serta eksistensinya. Dan akhirnya sebuah pertanyaan yang pantas kita renungi bersama.. Apakah selama ini kita sudah menjadi orang yang baik?
~ Adam Rifa'i~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H