Suara membelahak terdengar sesekali dari pria berkacamata, siang itu. Rambutnya yang terlihat menipis tertutup penuh oleh uban. Meski secara fisik tampilannya menunjukkan usia yang mulai menua, namun ternyata tidak begitu dengan semangat dan pemikirannya.
Pria itu tetap sangat energik saat berbicara. Pun dari penjelasan-penjelasannya masih informatif serta ilmiah. Ia: Profesor Sarkadi. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bidang PPKN.
"Saya tukang jual es yang mengajar di kampus negeri," ujar Prof Sarkadi sambill tertawa riuh, Kamis siang.
Kiranya memang betul apa yang disampaikan Prof Sarkadi. Pangkat tertinggi dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diraihnya kini bukanlah semudah membalikkan tangan.
Prof Sakardi yang dulu adalah sosok mungkin bagi sebagian orang dianggap 'kelompok biasa saja'. Orang yang tidak disangka sebagai intelektual dan berpiikiran 'tak ada apa-apanya'.
"Saya lahir dan hidup dari orang tua maupun keluarga yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Tidak ada keinginan buat senang-senang," ujar Prof Sarkadi.
Kemiskinan, ketidaknyamanan kondisi hidup, serba terbatas, membuat Prof Sarkadi sejak kecil bertekad harus mampu melakukan perubahan. Baginya, hidup dapat diubah menjadi lebih baik jika punya keinginan dan serius melakoni mencapainya. Intinya: tidak menyerah dan jangan mengeluh, kata Prof Sarkadi.
Sewaktu kecil, Prof Sarkadi memiliki jalan terjal dalam dunia anak-anak seusianya. Ketika kawan-kawan sebayanya saat masih SD bisa bermain bebas, tidak begitu dengan Prof Sarkadi.
Ia harus membawa es mambo ke sekolahnya. Dagangan es mambo itu dijajakan ke kawan-kawannya ketika jam istirahat sekolah tiba. Peluh dan tetesan air es menyatu menjadi satu di baju sekolah dikenakan Prof Sakardi kecil.
Dunia bermain anak-anak Prof Sakardi kecil begitu sempit. Bila es mambo tidak habis dijajakan di sekolah, maka Prof Sakardi langsung berkeliling kampung menjualnya. Tanpa dulu berganti pakaian sekolah. Yang penting ia dapat membantu meringankan beban ekonomi orang tuanya. Sebab satu hal: Prof Sakardi ingin terus belajar dan sekolah. Tak boleh berhenti di 'persimpangan jalan'.