Lihat ke Halaman Asli

Michael Aditya

Healer, Hypnotherapist, Neo NLP Practitioner, IT People

Memantaskan Diri

Diperbarui: 28 September 2020   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya juga ikan, ya pasti pandai berenang

28 September 2020

Kalau kita berbicara kepantasan ini ukurannya pasti beda-beda tiap individu, tergantung kepada latar belakang sosialnya, tergantung pada ukuran dari kepantasan masing-masing, saya tidak akan menyebutkan contohnya karena nanti pasti akan menyinggung beberapa individu yang ukuran “kepantasannya” tidak sama dengan saya.

Intinya begini, ketika anda itu merasa pantas untuk anda berikan kepada orang lain ya berarti itulah ukuran yang anda tetapkan untuk diri anda sendiri, itu kalau menurut saya. Jadi ketika anda merasa itu pantas untuk orang lain, ya seperti itulah anda menghargai diri anda sendiri.

Jadi bagaimana memantaskan diri kita sendiri, ya dengan memantaskan orang lain, melihat mereka sebagai individu yang sama dengan kita, sama-sama ciptaan Tuhan. Tanpa melihat latar belakang sosial dan label yang tersemat pada diri mereka. Melihat dalam di dalam diri mereka yang sejati.

Kalau di budaya ke-timur-an, biasanya tidak sopan untuk menatap mata (Eye Contact) kepada orang yang kita ajak bicara, terutama kepada yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan sosial lebih tinggi. 

Sebenarnya kalau di perhatikan mengapa tidak boleh, karena ini merupakan aturan sosial untuk menjaga struktur “kelas” tetap terjaga. Karena bila kita memandang seseorang terutama yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya secara sosial langsung ke “mata” maka sebenarnya kita bisa melihat diri mereka yang “sejati” tidak beda dengan kita semua ini…ciptaan Tuhan. 

Nah, kalau sudah begitu kan sebenarnya sistem sosial yang dibangun di masyarakat sudah tidak ada gunanya….nah seperti itulah. Sama hal nya jika kita melihat seseorang yang kita anggap memiliki kedudukan sosial yang lebih rendah dari kita atau yang lebih muda dari kita, contohnya kepada anak kita, usahakan kita bisa men-sejajarkan mata kita dengan mereka, sehingga mereka tidak menganggap kita lebih superior dari mereka, dengan begitu, kita semua setara, tidak ada Bapak-Anak lagi (Non-dualitas), tidak ada Guru-Murid lagi (Non-dualitas) tidak ada lagi Atasan-Bawahan lagi (Non-dualitas). Semua setara dan sejajar.

Begitu pula kita menilai sebuah masa atau waktu, tidak ada awalan, tidak ada akhiran, semua datang secara bersamaan. Tidak ada peng-kutub-an, tidak ada yang Baik-Buruk, hanya pilihan saja yang kurang tepat. Sama dengan usia, ini adalah konsep siapa lahir lebih dulu saja, tapi pengalamannya sama saja, kalau saya lebih muda berarti saya belum mengalami hal yang dialami oleh yang lebih tua (yang lahir duluan).

Sudah semakin jelas atau semakin kabur? Syukur kalau sudah semakin jelas, kalau semakin kabur, coba untuk berhenti sejenak dan baca sekali lagi tulisan ini dengan makna nya bukan baca tulisannya. Karena kadang kita sudah merasa tahu dan men-skip beberapa detail penting yang terkandung di dalamnya….karena saya juga masih sering seperti itu.

Memantas-kan diri saya dengan memantas-kan orang lain yang sebenarnya diri saya juga yang diproyeksikan oleh semesta untuk hadir karena saya melemparkan data yang sama di alam semesta, dan kesadaran kita juga mempengaruhi kesadaran orang lain di semesta ini…karena kita berbagi data yang sama berbagi jaringan yang sama….

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline