Sejak penentangan hukuman mati yang pertama kali muncul di tahun 1764 hingga kini lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati, namun tidak di Indonesia. Sedangkan hukuman mati tidak pernah diyakini memiliki efek jera, sebagaimana hasil studi intensif yang dilansir oleh PBB tahun 1998 dan 2002. Berturut-turut bersama korupsi, kejahatan narkotika tak juga berkurang, bahkan waktu ke waktu kian memprihatinkan. Ironinya di beberapa kasus lain, hukuman mati di Indonesia justru memuliakan aksi teroris yang mendudukkan terpidana sebagai pahlawan bagi kaumnya.
Bahwa kita sepakat rumah tahanan tidak serta-merta melahirkan ‘jebolan penjara’ yang beralih insyaf pada kejahatan yang dilakukan, namun semakin cerdas dan liar membangun metode kriminal, hingga tidak sedikit yang berhasil mempraktekkannya justru dari balik jeruji penjara.
Ketidakmampuan negara -dalam skema kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif- guna membangun sistem yang beradab menjadi bumerang yang merobek leher rakyat sendiri. Sistem hukum yang korup di semua lini menjadi jembatan emas aparat penegak hukum yang gemar memperdagangkan keadilan. Menunjukkan bahwa pidana mati akhirnya hanya menjadi ‘jalan aman’ untuk berkelit dari tanggung jawab penegakan konstitusi dan perlindungan hak asasi manusia yang universal.
Pasal 28 A dan 28 I ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa hak untuk hidup bagi tiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Maka absurb jika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menilai UU No. 22/1997 tentang Narkotika menyatakan undang-undang tersebut bersama hukuman matinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pijakan aspek kemanusiaan, MK bahkan tetap berpendapat hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan jahat.
Idealisme transendental kerap beradu dengan manifestasi pengalaman sebagai wujud yang terikat. Kesalahan seseorang seolah harus selalu diganjar dengan akibat yang setimpal. Hingga terlupakan kenyataan setiap orang tak luput dari kesalahan, dan setiap orang pula layak dan berhak untuk bertobat dan memohon ampun.
Tidak tertutup kemungkinan dilakukannya koreksi jika terjadi kesalahan dalam putusan pengadilan. Namun jika terpidana telah dihukum mati, koreksi dan rehabilitasi adalah kesia-siaan. Kesalahan pemidanaan tidak dapat dipulihkan karna si terpidana telah hilang ajal. Maka prinsip kehati-hatian sebagaimana asas in dubio pro reo dalam hukum mutlak harus diperhatikan. Demikianlah adagium “Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
Hati nurani dan rasa keadilan tak boleh hanya berhenti pada hukuman setimpal maupun sebaliknya sekedar memaafkan, namun pencegahan maksimal terhadap potensi kejahatan adalah ‘pekerjaan rumah’ yang hingga kini belum selesai, bahkan (sengaja) diabaikan. Manusia adalah sentralitas utama dari seluruh pembahasan tentang hukum. Manusia tidak boleh dimarjinalkan di bawah praktek hukum, apalagi hukum yang korup. Menyitir Bonesana Beccaria yang menekankan bahwa pidana mati bertentangan dengan du contract social, maka negara tidak berhak memidana mati seseorang. Pencegahan dengan pendidikan moral dan budi pekerti, penguatan nilai-nilai kebangsaan dan keadilan sosial, reformasi bangunan hukum dalam pandangan hukum progresif dan institusi hukum yang berfungsi maksimal, serta pengentasan kemiskinan dan program-program kesejahteraan masyarakat; merupakan aspek yang saling berkelindan bagi reformasi Hukum Indonesia demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H