Artikel ini ditulis oleh Kelompok 3 Kewarganegaraan, Fakultas Kedokteran, Prodi S-1 Ilmu Biomedis, Mahasiswa Universitas Andalas
Agung Naufal Al-Rasyid Rozak (2310342018), Dhea Maitama (2310343003), Dinda Fajrina Rahman (2310342002), Haifa Nadia Salsabila (2310341007), Hasna Azzah Humaira (2310342004), Revaldo Justine Pratama (2310343014), Sagita Dwi Hanum Saputri (2310343022)
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Namun, dibalik manfaat dan kemudahan yang ditawarkannya, media sosial juga menjadi lahan subur bagi penyebaran ujaran kebencian. Fenomena ini tidak hanya mengancam harmoni sosial tetapi juga memiliki implikasi hukum yang serius.
Definisi dan Konteks Hukum
Ujaran kebencian, atau hate speech, adalah segala bentuk komunikasi yang merendahkan, menghina, atau memicu kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, gender, atau orientasi seksual. Di Indonesia, penyebaran ujaran kebencian di media sosial dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan UU No.1 Tahun 2023 pasal 242 yang berbunyi: “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.”
Dampak Psikologis Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian di media sosial tidak hanya memiliki dampak hukum, tetapi juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental individu yang menjadi korbannya. Menurut artikel dari Kumparan, beberapa dampak psikologis yang ditimbulkan antara lain depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Korban sering merasa terisolasi, tidak berdaya, dan mengalami penurunan harga diri. Selain itu, ujaran kebencian juga dapat mempengaruhi hubungan internasional dan menimbulkan perseteruan antar negara. Oleh karena itu, perlu adanya upaya serius untuk mengatasi ujaran kebencian di media sosial, baik melalui edukasi, hukum, dan pengawasan.
Budaya Berkomentar di Media Sosial
Fenomena ujaran kebencian di media sosial seringkali berakar dari budaya berkomentar yang tidak terkendali. Artikel dari Universitas Gadjah Mada mencatat bahwa budaya berkomentar yang agresif dan tidak sopan telah menjadi tren di kalangan warganet. Hal ini diperparah oleh anonimitas yang ditawarkan oleh platform media sosial, yang seringkali membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi.
Studi Kasus dan Analisis
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Automata oleh Universitas Islam Indonesia memberikan analisis mendalam tentang pola dan motivasi di balik penyebaran ujaran kebencian. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak pelaku menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan ideologi ekstremis atau untuk memobilisasi dukungan politik. Selain itu, kurangnya literasi digital dan kontrol diri seringkali menjadi pemicu utama dibalik tindakan tersebut.