Lihat ke Halaman Asli

Anonymous

Mahasiswa

Moderasi/Toleransi Beragama: Mewujudkan Harmoni dalam Keberagaman

Diperbarui: 11 Juni 2024   06:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar

ABSTRAK

Moderasi dan toleransi beragama merupakan prinsip fundamental dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. Sejarah menunjukkan bahwa berbagai agama dapat hidup berdampingan secara harmonis, dan Indonesia dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" adalah contoh nyata. Namun, tantangan terhadap moderasi dan toleransi beragama, seperti ekstremisme dan radikalisme, masih ada. Moderasi beragama tidak hanya penting dalam skala nasional, tetapi juga dalam hubungan internasional. Dalam konteks hukum, toleransi beragama dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kurangnya toleransi berpotensi menimbulkan konflik, diskriminasi, dan ketidakadilan. Upaya untuk menciptakan toleransi beragama termasuk pendidikan, dialog antaragama, komitmen pemimpin agama, dan pengembangan kebijakan publik. Dengan memperkuat nilai-nilai moderasi dan toleransi, kita dapat membangun lingkungan yang inklusif dan berdaya, di mana setiap individu dihargai dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Ini adalah investasi penting bagi masa depan yang lebih harmonis dan sejahtera.

Kata Kunci: Moderasi, Toleransi, Ekstremisme, Radikalisme, Bhinneka Tunggal Ika

1. PENDAHULUAN 

Moderasi dan toleransi beragama adalah prinsip-prinsip fundamental yang menjadi landasan penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Di tengah keberagaman keyakinan dan praktik spiritual yang ada, kemampuan untuk hidup berdampingan dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan adalah suatu keharusan. Tanpa toleransi, potensi konflik dan ketegangan sosial dapat meningkat, menghambat perkembangan masyarakat yang inklusif dan dinamis.

Sejarah telah menunjukkan bahwa berbagai agama telah hidup berdampingan secara harmonis di berbagai belahan dunia. Indonesia, misalnya, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" telah lama menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat dirayakan. Meski begitu, tantangan terhadap moderasi dan toleransi beragama tetap ada, baik dari internal maupun eksternal. Ancaman ekstremisme dan adikalisme menjadi ujian besar yang harus dihadapi dengan kebijaksanaan dan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai kebersamaan.

Dalam konteks global yang semakin terhubung, moderasi beragama juga memiliki peran penting dalam diplomasi dan hubungan internasional. Kerjasama antarnegara dalam berbagai bidang seringkali didasarkan pada saling pengertian dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal yang ada di dalam ajaran agama masing-masing. Dengan memahami dan menerima keberagaman, kita dapat membangun komunitas yang kohesif dan saling mendukung, di mana setiap individu dapat hidup dengan tenang dan penuh rasa hormat. Dengan demikian, memperkuat nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama adalah investasi penting bagi masa depan yang lebih harmonis dan sejahtera.

2. PEMBAHASAN ATAU ISI

a. Secara Bahasa

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan 2. penghindaran keek streman. Jika dikatakan, "orang itu bersikap moderat", kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.

Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (ratarata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i'tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai "pilihan terbaik". Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem. Kata wasith bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata 'wasit yang memiliki tiga pengertian, yaitu: 1) penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan 3) pemimpin di pertandingan. Menurut para pakar bahasa Arab, kata wasath itu juga memiliki arti "segala yang baik sesuai dengan objeknya". Misalnya, kata "dermawan", yang berarti sikap di antara kikir dan boros, atau kata "pemberani", yang berarti sikap di antara penakut (al-jubn) dan nekad (tahawur), dan masih banyak lagi contoh lainnya dalam bahasa Arab.

Sedangkan beragama berarti tindakan mengikuti atau memeluk suatu agama, serta aktif berpartisipasi dalam ibadah dan mematuhi ajaran agama tersebut. Hal ini juga mencakup menjalani hidup dengan cara yang selaras dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama yang dianut. Dalam penggunaan sehari-hari, istilah beragama juga dapat berarti memiliki minat atau kegemaran yang mendalam terhadap sesuatu yang dihargai atau dipandang penting.


b. Secara Istilah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline