Lihat ke Halaman Asli

Mas Acung

Pematangsiantar

Cinta Versi Ayah

Diperbarui: 14 Mei 2023   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta Versi Ayah


Aku dibesarkan di lingkungan yang jauh dari kedamaian. Hari-hariku selalu berselimutkan awan kelabu, yang menguak kebencian dan melahirkan kekerasan. Ntahlah, aku tak tahu sampai kapan aku mendekam di lembah yang kusebut kengerian ini.

*                                                                      *                                                                      *

Aku Nira, gadis berambut ikal yang baru saja lulus SMP. Huh, perjuangan melewati masa SMP bagiku bukanlah perjuangan yang mudah. goresan- goresan dan Sayatan-sayatan luka menemani perjalanan hidupku di masa itu. Aku cukup yakin banyak di antara kalian tidak akan tahan dengan situasi berat yang kuraskaan. Tapi sekaligus juga aku yakin bahwa masih ada orang yang memiliki situasi lebih berat dibandingkan diriku. Meski sulit dan meski miliaran air mataku telah membumi, aku tetap bersyukur. Aku sudah menjalani masa sulit itu dengan sangat baik, setidaknya baik dalam versiku. Aku juga bersyukur punya pengalaman sulit itu sehingga aku akan berjuang untuk tidak mewariskan itu kepada anak-anakku kelak.

Aku sangat setuju dengan ungkapan dewasa itu bukan terjadi seiring bertambahnya usia tetapi dewasa itu sebuah pilihan. Pilihan untuk menjadi dewasa itulah yang coba kuambil saat situasi berat itu menimpaku. Andai saja aku bisa memilih untuk tidak hadir di dunia ini, aku akan sangat keras untuk memperjuangkan pilihan itu. Sayangnya, pilihan semacam itu tidak ada dan mungkin tidak akan pernah ada.

Malam ini, angin berhembus sangat lembut dan amat tenang. Aku seolah terhipnotis dengan buaian lembutnya. Hampir saja aku terpejam kalau suara klakson motor ayah tidak dibunyikan.

Aku mengucek mataku, lalu berderap ke arah pagar. Mengeluarkan kunci gembok dan segera menggeser pagar ketika gembok berhasil kulepaskan. "Silahkan masuk Pak! Parkir yang rapi ya!" ucapku seolah-olah menjadi petugas parkir layaknya di mall-mall. Ayah tersenyum manis, lalu memarkirkan motornya di dalam rumah.

Kurasa, aku perlu memberitahu kalian bahwa seperempat tahun belakangan ini, selepas membaiknya situasi keluarga kecil kami, ekonomi keluarga juga ikut membaik. Itulah salah satu anugrah Tuhan yang aku syukuri. Akhirnya setelah bertahun-tahun mendekam, aku bisa keluar dari lingkungan yang kunamai lembah kengerian itu.

"Nira, sini masuk dulu! Ayah bawa Martabak kesukaan kamu ini." Mendengar suara ayah dari balik pintu, aku segera berlari dan hampir melupakan gerbang yang belum kugembok.

Aku, menikmati setiap potong martabak yang ayah bawa. Ayah dan ibu tidak hanya tersenyum melihatku yang belepotan dengan cokelat tetapi mereka juga melepaskan tawa. Aku tidak peduli dengan mereka, yang penting aku merasakan nikmatnya martabak cokelat-keju kesukaanku.

Tidak terasa, martabak yang ayah bawa tadi tersisa tinggal satu pasang saja. Ah, tentunya kalian mengerti apa yang aku maksud dengan satu pasang. Oleh karena itu, aku tidak perlu menjelaskannya pada kalian lagi. Satu pasang terakhir itu, ingin rasanya aku makan tetapi, aku juga ingin berbagi dengan ayah dan ibu. Kebetulan, satu pasang itu berjumlah dua, jadinya aku menyuap satu untuk ayah dan satu untuk ibu. Tentu, aku juga ingin bermaksud usil kepeda mereka. Enak saja menertwakannku yang belepotan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline