Lihat ke Halaman Asli

Jadi Anak Merdeka

Diperbarui: 29 November 2018   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pribadi)

Berangkat kisah nyata kehidupan mahasiswa di kota Malang

Malam semakin larut nadi nadi hampir saja membeku dan kaku. Embun tebal sudah kuasai malam yang larut hingga pagi, jemariku lelah dan tak lagi menari bersama tinta kesayangan itu.

Aku bukan takut namun aku hanya meredam kerja naluriku, untuk tetap normal agar besok bisa berpacu lagi dalam merangkai huruf jadi kata untuk kalimat yang indah. Separuh hari kemarin sia sia saja terlewati tanpa sedikit jejak coretan. 

Ini hari yang baru setelah tegukkan cangkir Mungil di kedai sederhana itu, meski hanya ampas yang kami sisakan hari ini berhasil punya ide baru. Masih bersama sahabat lama beranjak menuju pondok tumpangan titipan teman yang
kami rawat.

Malam semakin larut, sunyi, dan redup lilin kian habis suara dari pejantan peliharaan tetangga pun menandakan kalau hampir subuh. Suara alam menggema di sekeliling gubuk tanpa cahaya ini.

Bukan tak mampu pasang listrik, namun ini karena berpikir kurang sehat dari sesama manusia, sehingga gubuk kami gelap tanpa cahaya. Seperti hidup di jaman purba yah???

Sebatang lilin pun sudah disiapkan untuk terangi lelap karena lelah. Perlahan sahabat lama mulai  keluarkan suara mistisnya yang panjang mirip dengan knalpot motor yang di blerrr....!!!

Ini kesempatan kami menikmati hidup dan mudanya kami, tidak pikir untuk hidup mewah laksana orang kota yang kebanyakan jadi Gila.
Kehidupan ini memang keras Tapi tak berlaku untuk orang merdeka yang bebas seperti kami.

Karena merdeka hanya dialami orang kampung yang berpikir sehat untuk menjadi anak Nusantara.

Kolam 26 November 2018

01:05




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline