Mahalnya harga cabai memang membuat pusing kepala, tapi mahalnya keadilan di negeri ini lebih membuat pusing, terutama keadilan dihadapan hukum. Hukum seperti tajam ke satu sisi, tapi tumpul ke sisi yang lain.
Hukum yang sepatutnya menjadi panglima, kini malah menjadi senjata untuk penguasa. Politik kini menjadi segalanya, bisa melakukan apa saja yang mereka suka. Sehingga rakyat yang jelata menjadi korban dari permainan penguasa dan pengusaha. Beberapa kasus yang kita lihat betapa timpangnya penegakan hukum, oknum tertentu demi mempertahankan posisi rela menjual kemurnian institusi.
Entah kenapa seperti ada orang atau kelompok tertentu yang seperti tidak tersentuh hukum. Mereka seperti bebas melakukan apa saja, mengatakan apa yang menurut mereka benar padahal itu fitnah. Sebut saja bagaimana seorang Boni Hargen menuduh mantan Presiden SBY sebagai dalang dari aksi 411, tapi dia tidak mempunyai bukti yang kuat. Boni yang langka sekali mengkritik Jokowi dan telah mendapatkan jabatan di kantor berita ANtara tersebut menuding didepan publik dan disiarkan oleh media nasional.
Apa yang disampaikan Boni sudah masuk pada ujaran kebencian dan fitnah. Kalau dia punya bukti kenapa tidak dibeberkan saja dengan gamblang, bukan malah menuduh demi orang yang dia bela mati-matian. Meski telah dilaporkan, tapi Boni tak kunjung diusut. Begitu juga dengan Ade Armando, sosok akademisi yang terkenal dengan kontroversinya tersebut kasusnya ditutup sebelum dimulai. Buat apa ditetapkan sebagai tersangka kalau bakal ditutup, ini memunculkan dugaan Ade dibebaskan karena dia merupakan orang yang mendukung penguasa.
Terkait kasus ujaran kebencian dan fitnah tersebut, kita bandingkan dengan apa yang terjadi kepada Buni Yani. Gara-gara dia menyebarkan video Ahok pidato di Kepulauan Seribu. Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka, dan berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Video yang dishare Buni itu kenyataan, dan dia membubui dengan kata-kata yang ada tanda tanya. Kalau terkait dengan status, ada ribuan kata-kata provokasi dan penuh kebencian yang ada di media sosial. Polisi tidak sulit untuk melacak jika mau, tapi kenapa hanya Buni Yani?
Terkait dengan Pilkada, ada banyak laporan yang masuk baik langsung ke kantor polisi ataupun melalui media sosial disampaikan kalau ada dugaan pelanggaran hukum. Tapi kenapa berbeda penangganannya, contohnya saat Djarot dihadang orang masuk ke satu tempat, polisi bisa langsung menangkap pelaku. Tapi saat Panwaslu dihadang pendukung Ahok, kenapa belum juga tertangkap. Padahal itu sama-sama melanggar hukum.
Tentu masih ingat saat ada kader PDI P yang terkapar karena mengaku dikeroyok, dalam waktu singkat polisi berhasil menangkap pelaku. Tapi saat ada tukang parkir dikeroyok oleh pendukung Ahok, kenapa belum jelas juga tertangkap pelakunya.
Saat kompetisi Pilkada DKI Jakarta sedang hangat-hangatnya, polisi menambah keriuhan dengan bergerak cepat merespon laporan via medsos terkait dengan dugaan korupsi yang dilakukan Sylvi, calon Wakil Gubernur. Walaupun sudah diklarifikasi secara langsung, tapi polisi tetap bersikukuh terus memeriksa. Tapi saat kandidat tersebut kalah, polisi tidak terdengar lagi menyampaikan ujung pangkal kasus yang mereka tanggani itu.
Polisi juga sekarang lebih gampang dalam menetapkan orang sebagai tersangka dugaan makar. Meski telah belasan orang yang ditetapkan, tapi tidak satu orangpun yang berkasnya sampai ke pengadilan. Jika memang punya bukti kuat, kenapa polisi tidak segera berhasil melengkapi berkas yang dikoreksi jaksa. Kebebasan menyampaikan pendapat seperti dibungkam melalui hukum.
Tidak hanya polisi, Menteri Dalam Negeri juga secara gamblang berkelit dari aturan yang ada. Dengan berbagai alasan, Mendagri tidak memberhentikan sementara Ahok meski telah menyandang status terdakwa. Bandingkan dengan daerah lain yang kepala daerahnya langsung di non aktifkan. Begitu juga dengan hasil BPK, selama ini hasil yang dikeluarkan BPK jika ada kerugian negara, bakal ada yang diusut. Tapi KPK saat menangani kasus tersebut, belum mulai saja sudah mengatakan tidak ada unsur pidana. Padahal BPK telah menemukan bukti baru terkait kasus RS Sumber Waras tersebut.
Masih banyak yang lain lagi bukti ketidakadilan dalam penegakan hukum dan kebijakan saat ini. Polisi dan lembaga negara lainnya adalah institusi yang punya tugas mulia, karena itu besar harapan rakyat Indonesia polisi dan lembaga negara tetap menjaga kemuliaannya. Jangan karena oknum tertentu, nama baik institusi menjadi rusak.