Lihat ke Halaman Asli

Revolusi Mental dan Brutush

Diperbarui: 4 Februari 2016   06:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pergumulan Indonesia dalam kerangka pembangunan, terlanjur terjerumus dalam lingkaran konsumsi abnormal. Sistem perolehan kebutuhan konsumsi dibuat lebih mudah, dibandingkan dengan sistem perolehan alat produksi.

Seorang Petani lebih mudah mendapatkan kredit motor, dibandingkan kredit investasi pembelian lahan. Meskipun pengadahan lahan untuk petani diprogramkan oleh Pemerintah, tetapi yang mendapatkan lahan itu ternyata terselip nama pejabat dan keluarganya.

Demikian halnya dengan lapangan kerja informal, dimana sektor informal dipekerjakan oleh produsen dan atau rentenir, dengan sistem titip barang atau titip modal. Jadilah saat ini rakyat dalam lingkaran hitam perbudakan yang berkeinginan pendek.

Negara kesejahteraan yang diperjanjikan itu, semakin jauh, dilihat dari produk legislasi yang dibuat, lebih cenderung prioritas untuk kapitalisasi pasar, demikian halnya dengan pelaksanaannya. Paket regulasi UMKM, dibuat, tidak untuk UMKM, melainkan untuk pemilik modal juga, meskipun dalam skala kecil.

Modal manusia Indonesia, adalah lahan, lahan produksi harus gratis, biaya produksi untuk pribumi harus disubsidi, setelah kekuatan itu berputar, barulah kemudian berhimpun dalam syarikat komunal, dan yang menyangkut hajat hidup, dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.

Di pinggiran kota sana, ternyata ada teriakan, ada jeritan yang tak terdengar di Monas. Listrik susah, tapi pusat transaksi kapitalis terang benderang dengan dentuman musik, demikian halnya dengan air di masjid tidak mengalir, tapi di Pusat Kota sama ada kolam dengan ragam suhu untuk berendam tanpa busana, layaknya zaman jahilia. Kemudian seorang Kakek mendapatkan anggaran bangun Pembangkit Listrik dengan uang APBN, dan kemudian Listrik itu dijual ke rakyat, masuk ke perusahaan pribadi. Aneh tapi nyata.

Tiba-tiba teroris beraksi, dan konon seorang psikopat memberi racun di kopi kekasih sejenisnya. Bukan satu rangkaian dengan pemulangan, atau sebutlah transmigrasi atau urbanisasi berlabel aliran keyakinan. Itu belum cukup menutupi skandal dibalik kereta cepat yang menguras modal menjadi hutang.

Dalam keadaan seperti ini, manusia Indonesia percaya, bahwa Tuhan selalu ada, dan biarkan waktu yang menyelesaikan. Tugas setiap rakyat adalah memilih pemimpin, bukan mengkritik, karena kalau mengkritik, bisa masuk penjara dengan hate speak!

Ada juga yang masih lantang, dan angkuh melawan, tapi setelah juragannya menjadi Pejabat, dia ikutan jadi pejabat dan sibuk membenarkan tindakan Juragannya. Mungkin biasa disebut pelacur politik atau si brutush yang mencari nafkah.

Dan malam ini pun hanya tulisan tak berbentuk, karena berteriak di depan istana, si brutush hanya bilang... Itu orang gila yang perlu di revolusi mental. Nach... Si brutush ini ternyata menafsirkan revolusi mental sebagai suatu perbuatan memuja muji juragannya, meskipun rakyat menjerit. Karena brutush itu hanya pikir perutnya, bahkan kawan sekalipun diterkamnya demi perut dan nafsu seksualitasnya yang over.

Tapi ini hanya fiksi belaka, semoga esok ada harapan baru dari sinar matahari yang terbit dari ufuk timur. Minimal bisa mengeringkan cucian.

AMA, Toraja-Makassar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline