Lihat ke Halaman Asli

Kita Tidak Letih

Diperbarui: 29 Januari 2016   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Drama politik sejak tahun 1998, yang dihiasi dengan Pemilu, baik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah, telah menyajikan pertunjukan yang menarik terkait dengan kebangsaan kita.

Indonesia, sebagai bangsa, sebagai negara, dalam suatu tatanan ideologi, terlihat memudar dalam segmen-segmen terakhir, yang bahkan mungkin tergeser menjadi suatu lahan, atau sebut saja lahan yang diperjanjikan.

Perebutan kekuasaan dalam momentum transisi politik, berhasil memecah belah rakyat, dan kemudian melahirkan paham-paham pragmatisme yang jauh dari cita bangsa.

Nawa Cita dan Restorasi yang diperkenalkan pemerintahan Indonesia Hebat, terdesak oleh konsolidasi hasrat, yang menjadikan kekuasaan sebagai alat kelompok atau golongan, bukan untuk mewujudkan cita bangsa.

Pertikaian Politik, vertikal dan horizontal, konflik antar institusi, dan tumpang tindih program-program antar institusi, terpelihara, dan menyediakan ruang bagi cecunguk politik yang kehilangan arah dan tujuan.

Ideologi Pancasila, yang mungkin mulai hilang dari nafas anak bangsa, terakhir dengan shyndrom MEA, membuat kita kadang berdesakan, sambil menikam, beriringan sambil menyenggol, dan memanjat sambil saling menjatuhkan.

Intrik dan siasat terselebung dalam setiap drama konflik, menimbulkan ketakutan, memelihara ketertindasan, dan memberi angin penyejuk bagi kaum tergerakkan, merupakan metodologi gerak lurus tak beraturan yang mengantarkan perampok negara lebih leluasa melakukan aksinya.

Sebahagian menjadi berani berbicara tentang korupsi, sambil menikmati kopi bersama koruptor putih di lantai marmer bermerk, dan sebahagian lainnya menata pemberontakan melalui aksi terorisme di sudut kota, dan yang frustasi berkumpul menikmati candu narkotika sebagai bentuk frustasi terhadap negara.

Hari ini, kita disibukkan dengan serangkaian aktivitas menata jalan panjang, mencari daya ungkit strata, dan merebahkan kelelahan dalam dialektika ketuhanan. Pelarian terkahir bangsa dalam kegalauan, menata Ketuhanan, meninggalkan dunia, dan bersyahwat dengan lantunan syair kedamaian jiwa.

Intrik kekuasaan selalu menciptakan keadaan dan peristiwa, yang menggerakkan setiap sub sistem sosial, agar tidak mengganggu kartelisasi dan eksplorasi yang sedang dilakukan.

Tapi tidak semua. Kita semua tetap yakin dan percaya, masih ada anak bangsa, yang penuh kesadaran, merintis jalan menuju revolusi, membuka kembali lembaran sejarah, dan mulai jenuh dengan konsumenariasme yang diciptakan oleh intrik kekuasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline