Lihat ke Halaman Asli

Bidan PTT Ingin Berstatus PNS? Yuk Renungi Dulu Kisah Ini

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum lama ini pemberitaan dimedia ramai dengan aksi demo para bidang PTT (pegawai tidak tetap) di Istana Negara yang menuntut agar diangkat menjadi PNS. Tapi nih…saya tak ingin membahas masalah demonya, ataupun masalah peraturan-peraturan tentang profesi bidan. Dalam tulisan ini hanya akan membagikan sebuah kisah seorang kawan saya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan. Dimana kisah ini sebelumnya pernah saya tuliskan dalam judul, http://sosbud.kompasiana.com/2011/12/23/kartini-masa-kini-421429.html. Sekarang saya tuliskan kembali kisahnya, supaya saya tak lupa akan ketulusan hati dalam membantu sesama. Ya, hanya itu saja.

Sebelum dituliskan, kisah ini sempat saya bagikan pada seorang kerabat sekitar tiga tahun lalu, yang kebetulan punya profesi sebagai tenaga kesehatan (perawat). Tiap  tahun sejak kelulusanya (tahun 2008)  sebagai tenaga kesehatan, kerabat ini selalu ikut tes CPNS dan selalu gagal. Ketika kisah kawan ini saya ceritakan padanya hanya ini kata yang dia ucapkan, “eh gelo…gila lo, sekolah tinggi-tinggi abis duit banyak, kok kerja gak ngasilin duit, buat apa sekolah kalau gitu, kalau gak bisa dapet duit, mau hidup gimana!”…Saya hanya terperangah, dan sejak itu tak lagi mengulang kisah kawan saya ini. Biarlah hanya menjadi sesuatu teladan dan inspiratif untuk kami, bagaimana menjadi manusia yang tulus dalam membantu sesama, tanpa pernah berharap imbalan.

Sejak lulus SMA (sekolah menengah atas), saya dan kawan ini, sebut saja Venny (nama samaran), sudah sangat jarang berkomunikasi, karena sudah berpencar melanjutkan study ditempat yang diinginkan. Pertemuan kami hanya bisa dihitung dengan jari. Pertama saat masih study, bertemu ditempat pemberangkatan bis yang akan membawa kami ketempat tujuan masing-masing. Kedua kalinya, saat ayah saya meninggal. Selanjutnya…sejak terakhir bertemu, tahun 2007, hingga saat ini tahun 2013 kami belum pernah bertemu kembali.

Terakhir kali bertemu, kami sudah sama-sama lulus S1. Saat itu dia masih menganggur, dan memilih kembali kedaerah asal. Yang saya ketahui saat itu, Venny lulusan perawat dari sebuah sekolah perawat yang dikenal bagus di kota lumpia. Sebenarnya setelah lulus dia ingin bekerja di rumah sakit yang sama-sama satu yayasan dengan sekolahnya, namun syarat diutamakan yang seiman menjadi kendala, hingga iapun memilih kembali kedaerah asal, dan mencari peruntungan.

Selanjutnya kabar yang saya dengar dari ayahnya langsung, saat libur hari raya, ayahnya mengatakan kalau Venny tidak bisa merayakan hari raya disini (dirumah orangtuanya), dikarenakan sekarang dia sudah bekerja disalah satu rumah sakit swasta yang letaknya jauh dari kediaman orangtuanya. Lama tak mendengar kabar tentang Venny, hingga suatu waktu (empat tahun yang lalu), secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang sahabat lama dalam sebuah perjalanan, sebut saja April (nama samaran). Selama diperjalanan inilah kisah Venny digulirkan oleh April, dan membuat saya tak bisa mengatakan apa-apa, selain berkata, “hebat banget ya dia…”. Kemudian disambung oleh April, “gak nyangka ya dia bisa kayak gitu sekarang, berhati tulus, padahal dulu waktu sekolah …..”. Ya, perjalanan waktu rupanya yang membuat seseorang berubah. Inilah kisah Venny…

Saat diceritakan oleh April, Venny sudah tak bekerja lagi dirumah sakit swasta, entah apa alasannya Venny meninggalkan rumah sakit swasta itu. Saat diceritakan oleh April, Venny saat itu bekerja di sebuah puskesmas desa, dimana desa ini masih bertetanggaan dengan desa kami, namun letaknya terbilang terpencil berada ditengah ladang-ladang, dengan akses masuk yang sangat sulit. Orang desa kami menyebutnya, “ndesonya ndeso”…Dipuskesmas itu tidak ada tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) yang mau ditugaskan disana, kalaupun mau hanya sebentar dan berujung lari pergi menjauh. Sontak saja, yang ada disana hanyalah kepala puskesmas yang merupakan dokter, dan Venny saja yang menjaga puskesmas itu guna melayani masyarakat disana. Kalau mau dipikirkan, sudah bekerja di rumah sakit swasta yang bergaji tetap tiap bulannya, punya tunjangan, jenjang karier ada, kenaikan gaji ada,  kenapa ditinggalkan, kok malah memilih berada di puskesmas desa.

Berhubung disana tidak ada tenaga medis yang mau ditempatkan, kawan saya ini merangkap tugasnya, ya jadi dokter, ya jadi bidan, ya jadi perawat, semuanya dirangkap. Kalau kebetulan dokter satu-satunya tidak ada ditempat, kalau ada warga yang datang hendak berobat, dia yang menangani dan memberikan obatnya, misal sakit diare, pusing, batuk-batuk, demam. Kalau ada warga yang mau melahirkan ya Venny yang sering dipanggil untuk membantu proses melahirkan. Karena lebih seringnya Venny menangani proses melahirkan, hingga ia dikenal seantero desa tersebut dengan panggilan bu bidan. Saat tertentu, dia menjadi perawat, membantu para pasien yang sedang dirawat di puskesmas tersebut. Berat tugasnya?? Kata April kawan saya, sepertinya Venny asik-asik saja dengan pekerjaannya itu.

Hal yang menarik diceritakan oleh April adalah tentang kegiatan Venny saat menangani proses melahirkan. Rumah orangtua Venny (tempat tinggal Venny) dengan puskesmas desa tempatnya bekerja, jaraknya jauh, ditambah dengan akses jalan yang sulit, satu akses jalan masuk, jalannya tanah merah, akses jalan lainnya, jalannya berbatu-batu, penerangan listrik yang minim, jalanan yang sepi, kanan kiri hanya ladang ataupun perkebunan. Sering malam-malam Venny dipanggil/ dijemput  oleh warga untuk menangani proses kelahiran. Dan Venny akan selalu siap sedia memberikan bantuannya kapan saja, tak kenal waktu. Meski medan sulit, apalagi kalau pas hujan mengguyur, dia akan dengan senang hati, bersemangat datang menolong warga yang akan melahirkan tadi, tanpa…sekali lagi tanpa uang muka! Kenapa saya tekankah untuk uang muka dalam memanggil bidan untuk menolong proses melahirkan?? Sudah bukan rahasia umum lagi, disana sudah hal lumrah/ hal biasa, kalau mau memanggil bidan guna membantu persalinan…sang suami atau siapa saja yang ditugasi untuk menjemput bidan harus dengan membawa uang muka (saat itu 500 ribu rupiah). Kalau tidak ada uang mukanya, bu bidan takkan mau datang. Selain ada uang muka, tentu ada uang jasa pertolongan melahirkan ini, biasanya setelah proses kelahiran selesai. Jadi biaya persalinan didesa waktu itu, ya 500ribu rupiah ditambah dengan uang jasa yang jumlahnya tergantung permintaan bidannya. Kalau orang mampu besaran uang segitu tidak masalah, lain halnya dengan orang tidak mampu/ miskin, tentu akan menjadi masalah.

Saat menangani proses persalinan ini, sering kali kawan saya itu (Venny), tak meminta uang jasa, artinya gratis, bila yang ditolong itu adalah orang miskin. Tapi, kalau yang ditolong adalah orang berduit, ya kawan saya akan patok harga uang jasa. Gratis menolong warga miskin yang melahirkan ini tidak main-main. Selama tujuh hari/ seminggu, kawan saya akan terus mengunjungi si ibu dan si bayi yang baru dilahirkan dengan maksud mengontrol kesehatan mereka berdua. Tidak peduli apakah itu hari minggu ataupun hari libur nasional Venny akan tetap mengunjungi ibu dan bayi. Tidak hanya itu, beragam keperluan (minyak, bedak, handuk) bayipun akan diberikan oleh Venny, plus obat-obatan bila diperlukan. Plus… selama masa kunjungan itu, Venny akan memandikan bayi itu, dan mengajari si ibu untuk memandikan si bayi, dan cara mengurus bayi.  Ya, April lah yang beruntung, pernah bertemu oleh Venny di satu kesempatan sebelum bertemu dengan saya dalam perjalanan itu, dan diajak kesana-kemari oleh Venny mengunjungi ibu dan bayi yang baru ditolongnya.

Dari gajinya yang tak seberapa sebagai tenaga kesehatan honor dipuskesmas desa itulah Venny menggunakannya dalam kegiatan pelayanan bagi masyarakat yang membutuhkan, ya untuk membayar obat, membeli perlengkapan bayi, dll. Sementara untuk tempat tinggal ataupun makan dia masih bisa ikut dengan orangtuanya. Apa yang dilakukannya sangat didukung oleh orangtuanya, meski secara kasar kawan saya ini bekerja tapi tak ada hasilnya, tak uangnya. Ya, uang bukanlah segalanya, bukan..?? Justru kawan saya yang satu ini bersyukur bisa menolong orang lain, dan ia bahagia.

Masih dalam cerita April, orang-orang tidak mampu/ orang miskin yang telah ditolongnya dalam proses persalinan, mengganti biaya ongkos persalinan yang digratiskan oleh Venny dengan hasil kebun mereka. Itupun bukan Venny yang meminta, tapi warga desa yang ditolongnyalah yang berinisiatif sendiri ingin membalas jasa bu bidan (begitu mereka menyebut Venny).  Maka tak jarang, kala pagi-pagi ada orang datang mengantarkan pisang, sayur- mayur, atau hasil kebun yang lainnya yang ditanam oleh warga yang ditolongnya. Semua itu diterima oleh Venny dengan hati yang berbunga, senang  punya pisang, punya sayuran tanpa harus membelinya dengan uang. Berkah yang luar biasa…

Berkah akan ketulusan hati Venny ini tidak hanya mendapat buah-buahan dan sayur dari warga saja. April menutup perbincangan kami dengan mengatakan, “enak ya itu si Venny, tahun depan udah jadi PNS dia, padahal belum lama disana, baru dua tahun…”.  Venny akan jadi tenaga kesehatan dengan status  PNS (pegawai negeri sipil), tanpa tes, tanpa embel-embel harus membayar se3jumlah uang hingga puluhan juta atau ratusan juta. Padahal banyak orang yang rela merogoh kocek hingga 100 juta lebih demi mendapatkan status PNS, dan ada yang sampai demo juga untuk menuntutnya. Seperti yang saya tahu beritanya minggu lalu ada demo menuntut agar diangkat PNS, demo bidan PTT (pegawai tidak tetap).

Sepak terjang Venny, dalam menolong warga miskin, lama-lama diketahui juga oleh kepala puskemas tempatnya bekerja. Dan Kepala puskesmaslah, yang (kepala puskesmas) berani merekomendasikan Venny untuk diangkat menjadi PNS meski baru hitungan satu, dua tahun, menjamin bahwa Venny benar-benar tenaga kesehatan yang bagus, berdedikasi. Tidak hanya itu, ketulusan hati Venny dalam melayani masyarakat, terutama warga tidak mampu/ warga miskin menjadi catatan tersendiri. Apa yang dilakukan, dengan mengratiskan jasa pertolongan persalinan bagi warga miskin, bukanlah karena mengincar status PNS atau imbalan puja-puji. Karena dalam kenyataannya, kata April, justru kawan saya ini (Venny), kaget ketika kepala puskesmas menyatakan hal ini (pengangkatan statusnya). Apa yang dia dapat akan statusnya, adalah hal yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Buatnya status apapun yang melekat padanya, tidaklah begitu dipikirkan, yang penting bisa menjalankan amanah  sebagai tenaga kesehatan dalam bentuk pengabdian pada masyarakat, bisa menolong warga miskin. Masalah penghasilan/ uang, uang jasa yang selalu digratiskan bagi warga miskin, tidak pernah menjadi masalah.

Saat itu sepanjang perjalanan saya kehabisan kata-kata, terharu mendengarnya. Ketulusan hatinya membantu sesama benar-benar akan selalu menjadi teladan untuk kami. Suami saya sempat berkata, “Apa yang diajarkan ditempat study-nya benar-benar mengena padanya (Venny)”. membantu sesama, dan siapa saja, tanpa pandang bulu. Kawanku (Venny), kami sangat bangga padamu, Godbless You..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline