Dulu ada teman yang mengatakan, bahwa hidup ini kita semestinya mencari teman sebanyak-banyaknya, bukannya malah mencari musuh, menebarkan kebencian. Mungkin itu sebuah kata yang biasa, tetapi bila dicermati mendalam, maknanya luar biasa.
Malaysia, kita semua tentunya sudah mengetahuinya, bahwa Malaysia itu adalah negeri seberang Indonesia, yang merupakan negara serumpun kita, Indonesia. Saya yakin, para pakar sejarah telah tahu dan paham, mengapa Malaysia bisa serumpun dengan Indonesia, dan mengapa pula Malaysia bisa saja mempunyai budaya yang hampir sama dengan Indonesia.
Sewaktu masih tinggal di Jakarta, saya juga merasa gerah ketika Malaysia mengiklankan "Truly Asia" nya dengan menampilkan tari pendet. Setelah itu Indonesia-Malaysia sering memanas, ribut-ribut lagi tentang klaim Malaysia terhadap Reog, batik, rumah minang, ribut masalah perbatasan, ribut tentang pertandingan bola, serta yang terbaru yang diributkan adalah, Malaysia disebut media Indonesia telah mengklaim tari Tor-Tor. Permasalahan budaya ini memang sangat sensitif. Tetapi, kalau boleh saya katakan, jika ada budaya Malaysia yang sekiranya hampir sama dengan Indonesia (tidak semua budaya), itu hal yang wajar, bila kita bisa merunut sejarah masa lampau. Seperti batik misalnya, kalau pernah melihat batik Malaysia, motifnya berbeda dengan motif-motif batik yang kita punya. Jadi, jikalau kita mendengar ada berita dimedia, Malaysia punya batik, jangan buru-buru berpikir negatif tentang Malaysia, kemudian kita mencercanya, menghakimi, saling mengejek, dan sebagainya. Yang punya batik tidak hanya Indonesia saja, Malaysia punya, pun Singapura juga punya, namanya batik peranakan. Lagi-lagi saya katakan, pakar sejarah pasti lebih tahu dan bisa menjelaskan secara detail tentang hal ini.
Saya mencoba melihat Indonesia dari luar, ketika kami tinggal di negeri Uncle Lee. Dan mulai hati ini bertanya, haruskah kita sebagai warga negara Indonesia menebar benih permusuhan dengan Malaysia, dengan warga negara Malaysia? Tentu tidak. Akhir-akhir ini Aceh sering gempa, seorang kenalan warga negara Malaysia menanyakan, "Aceh gempa, apakah disana baik-baik saja?". Dia sangat khawatir kalau-kalau gempa Aceh yang sering ini membawa bencana tsunami seperti yang telah pernah terjadi, dan sangat mengerikan itu. Kepedulian, itu yang tergambar ketika pertanyaan itu dilontarkan. Karena teman-teman kami yang ada di Indonesia pun, tak pernah membahasnya, pun seorang teman yang tinggal di Aceh terkadang tak tahu wilayahnya sering gempa. Dan warga Malaysia itu juga pernah berkata dengan bangga, bahwa dia beserta istrinya pernah pergi ke Jakarta dan juga Padang. Kalau kawan-kawan sekalian tahu, bahwa orang Malaysia sangat menyukai pergi ke Bandung.
Tentang masalah ribut-ribut perbatasan Indonesia-Malaysia, saya kira kita sebagai warga negara Indonesia jangan terlalu berlebihan melontarkan kata-kata yang menunjukkan rasa benci yang mendalam terhadap Malaysia. Kita harus tahu, negara yang bertetangga pasti juga mengalami perselisihan tentang batas wilayah. Tidak hanya Indonesia-Malaysia. Perselisihan batas wilayah, pengklaiman atas suatu wilayah, juga terjadi antara negara-negara di dunia yang tentu saja bertetanggaan, contohnya, Singapura-Malaysia, Jepang-China. Untuk itu kita jangan terlalu berlebihan menebar permusuhan dengan Malaysia. Saya juga percaya, bahwa warga negara Malaysia juga tahu tari pendet itu dari Bali , dan tahu Bali itu ada dimana. Pun juga dengan seorang teman Jepang kami, tahu Bali ada dimana, apa saja budaya yang ada di Bali juga tahu, termasuk tari pendet. Kalau misalnya punya teman orang Eropa, dan tidak tahu Bali dimana, kita tinggal bilang, "oo Bali itu ada di Indonesia".
Bagaimana dengan isu yang terbaru, tentang tari tor-tor?? Kalau itu saya katakan adalah kesalahpahaman kita. Mengapa?? Di Malaysia, juga ada warga negara Indonesia yang telah menjadi warga negara Malaysia, mereka tinggal di Malaysia sejak jaman dulu dengan membawa budaya-budaya mereka, yaitu budaya Indonesia. Wajar, jika mereka terus ingin melestarikan budayanya dengan mencatatkannya kepemerintah mereka, yaitu Malaysia. Yang saya tangkap, itu yang terjadi dengan tari tor-tor. Lantas bagaimana kita harus bersikap?? Kita harus memahaminya, dilihat dari sejarahnya, Indonesia-Malaysia, nenek moyangnya sama. Haruskah kita marah terhadap Malaysia?? Jangan gegabah dalam bersikap. Yang pasti, Jika memang kawan sekalian memang orang Batak, yang terbaik dilakukan adalah tetap dan terus melestarikan tari tor-tor, agar anak cucu nanti tetap mengenalnya. Begitu juga dengan beragam budaya yang lain. Tetap dilestarikan, jangan sampai punah. Karena tanpa tersadar, kita sendirilah yang membuat punah budaya kita sendiri. Nanti kalau negara lain, mengatakan punya budaya yang dilihat sama dengan budaya kita, saat itu baru kita sadar.
Sebaiknya kita, sebagai warga negara Indonesia, tidak perlu menebar benih permusuhan. Terkadang saya sendiri merasa sedih, kalau ada perang di media antara warga negara Indonesia dengan warga negara Malaysia. Tanpa sadar terkadang kita digiring oleh opini yang tercetak dimedia. Maka saya katakan, media kita sering memberitakan sesuatu itu tidak berimbang. Saya beserta suami, berusaha untuk melihat Indonesia dari luar, agar kami bisa paham tentang sesungguhnya terjadi, agar tidak tergiring opini media yang sering tak berimbang. We are one, bisa berteman, bersahabat dengan siapa saja, tanpa membedakan suku, agama, ras, budaya, serta negeri asal, termasuk berteman dengan warga negara Malaysia, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H