Lihat ke Halaman Asli

Makna di Balik Selembar Lukisan Batik Rama Dan Shinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_323758" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu kartu batik Rama dan Shinta yang saya beli tahun 2013 lalu (dok. pribadi)"][/caption]

Mumpung masih dibulan kasih sayang...yang banyak orang bilang sebagai hari valentine,  jatuh setiap tahunnya di bulan Febuari, tepatnya 14 Febuari, maka ini saat yang tepat (menurut saya) untuk membicarakan tentang kasih-mengasihi antara pasangan, yaitu antar suami-istri. Tapi...bukan akan membahas tentang bagaimana merayakan hari valentine bersama suami atau istri....melainkan memaknai lembaran kain batik yang melukiskan sosok Rama dan Shinta. Ya, lukisan batik sosok Rama dan Shinta, bukanlah lukisan batik biasa, namun sebuah panutan bagi pasangan suami-istri dalam menjalani kehidupan berumahtangga.

Saya sangat mengidolakan Yogyakarta sebagai salah satu tempat tujuan wisata kami. Dibanding mengunjungi negara-negara tetangga misalnya, saya pribadi lebih tertarik berwisata  ke Yogyakarta, atau lebih tepatnya lebih senang memilih liburan ke Indonesia.  Dua tahun berturut-turut, kami mengunjunginya (Yogyakarta). Bukan tanpa alasan, sebabnya ada hal-hal yang tak terduga yang menjadi pelajaran berharga. Salah satunya, tentang makna dari gambaran sosok Rama dan Shinta yang hadir dalam lukisan batik. “Ooo itu kan cuma batik biasa, gambar wayang..!”. Iya, mungkin menurut sebagian orang itu hanya batik-batik pada umumnya, gambar tokoh pewayangan, apa istimewanya??.. Tapi taukah kawan sekalian, gambaran yang dicerminkan pada sosok tokoh pewayangan itu, Rama dan Shinta”, memiliki filosofi yang begitu kuat, terutama dan paling utama untuk kita yang sudah berumahtangga/ sudah menikah.

Kartu batik bergambar Rama dan Shinta itu, saya beli kala mengunjungi Cagar Budaya Taman Sari Yogyakarta tahun 2013. Saat itu, sang pemandu wisata kami, mengajak untuk mampir ke show room yang ada disekitar cagar budaya nomer 19 didunia tersebut, http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/01/17/taman-sari-yogyakarta-cagar-budaya-no-19-di-dunia-520404.html Salah satu show room yang kami datangi adalah tempat penjualan lukisan batik. Ditoko pertama saya tak tertarik untuk membeli apapun, setelah diajak masuk ke toko kedua, baru merasa tertarik untuk membeli kartu ucapan yang berhiaskan selembar kain batik (benar-benar dibatik dengan tangan) yang ukurannya tak lebih dari sejengkal tangan saya. Pilih-memilih disarankan untuk memilih yang bergambar Rama dan Shinta. Saat itu pemandu kami bilang, Rama dan Shinta adalah Romeo dan Juliet-nya Indonesia. Kira-kira begitulah ucapan pemandu wisata kami. Akhirnya sayapun memilih dua kartu bergambar Rama dan Shinta dengan harga Rp. 30.000; per kartu.

Ditahun berikutnya (2014), pemandu wisata di Museum Kereta Yogyakarta, mengajak ke show room. Tempat itu adalah tempat penjualan lukisan batik yang dikelola oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta, yang letaknya tak jauh dari Museum tersebut. Lihat-melihat banyak sekali lukisan batik yang menarik perhatian mata, dan bagus-bagus semua. Dari sekian banyak lukisan yang ada, pemandu wisata itu menyarankan kami untuk membeli lukisan batik bergambar tokoh pewayangan Rama dan Shinta. Ya...lagi..lagi, untuk yang kedua kalinya dalam setiap kunjungan liburan kami Rama dan Shinta adalah lukisan batik idola yang selalu direkomendasikan. Kemudian saya menanyakan, “apakah ada kartu batik??”. “Tidak ada, kartu batik sudah tidak dibuat lagi, kasian yang membatik, bentuknya terlalu kecil untuk dibatik”....begitu penjelasannya. Lanjutnya, “ini saja, lukisan batik Rama dan Shinta, ini bagus tidak hanya untuk hiasan dinding tapi maknanya untuk kehidupan suami-istri bagus”.

Tanpa kami minta pemandu wisata itu menjelaskan tentang lukisan batik bergambar dua tokoh wayang tersebut. Katanya, “sekarang banyak pasangan suami-istri cerai, punya masalah sedikit minta cerai, tengkar sedikit minta cerai, sedikit-sedikit berkata cerai, mudah sekali berkata cerai...”. Pikir saya, “apa hubunganya cerai dengan dua tokoh wayang tersebut??”. Menurut penuturannya, Rama dan Shinta adalah perlambang kesetiaan pasangan (suami-istri). Pria dan wanita ketika sudah menikah menjadi pasangan suami istri, haruslah setia dengan pasanganya, saling menyayangi dan mengasihi, juga saling mendukung antar yang satu dengan yang lainnya. Pernikahan adalah suatu ikatan suci, yang tidak bisa dipermainkan seenaknya dengan mengucapkan kata cerai atau perpisahan, kecuali ajal yang menjemput. Selanjutnya, pemandu kami berkata, bahwa Sri Sultan-pun bercermin pada penggambaran dua tokoh pewayangan tersebut. Dan itulah mengapa Sri Sultan Hamengku Buwono X, hanya mempunyai satu istri saja, Ratu Hemas. Meski seorang raja, mempunyai kekuasaan, tapi istri tetap satu, yang artinya setia pada pasangan. Sultan ingin mencontohkan pada rakyatnya, bahwa sebagai pasangan (suami-istri) kita haruslah saling setia pada pasangan.

Lantas apa hubungannya membeli lukisan batik Rama dan Shinta dengan kehidupan kita dalam menjalani kehidupan berumahtangga??...Masih menurut penuturan sang abdi dalem tersebut (pemandu kami), Sultan menganjurkan untuk memajang lukisan Rama dan Shinta tersebut dimasing-masing rumah para abdi dalemnya. Tempat yang paling bagus adalah diruang makan keluarga. Ya, ruang makan merupakan tempat yang dianggap paling pas untuk menempatkan sebuah lukisan Rama dan Shinta. Karena disanalah (ruang makan), tempat anggota keluarga berkumpul. Berkumpul yang tentu saja tidak hanya untuk makan, namun tempat yang pas untuk membicarakan sesuatu, dari mulai yang remeh-temeh hingga permasalahan yang ada dalam sebuah keluarga (rumahtangga). Bila bertengkar dengan pasangan, ada masalah maka ajaklah pasangan (baik istri maupun suami) untuk menuju ruang makan, melihat lukisan Rama dan Shinta tersebut, maknai dengan dalam gambaran dua tokoh pewayangan itu, yang merupakan perlambang kesetiaan, saling menyayangi, saling mendukung baik suka maupun duka. Genggam tangan pasangan (istri atau suami), peluk pasangan dengan hangat, dan lihatlah gambar Rama dan Shinta tersebut, bahwa apapun yang dihadapi akan selalu bersama. Selesaikan dengan kepala dingin pasti akan ketemu jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi.

Kemudian pemandu kami itu bertanya, “tahu kenapa Dewi Shinta digambarkan lebih rendah dari Rama, kenapa kok tidak digambar/ dilukis tinggi sejajar dengan Rama??”. Kamipun menggeleng...”Shinta digambarkan lebih rendah dari Rama itu ada artinya. Artinya bahwa, Shinta sebagai seorang istri harus menghormati suaminya yaitu Rama”, kata pemandu kami. Sekarang jaman modern, banyak wanita yang berstatus istri juga bekerja diluar rumah, nah dalam kondisi seperti ini, seorang wanita tetap harus menghormati suaminya. Mungkin sang istri punya jabatan yang lebih tinggi diluar, mungkin istri punya pendapatan lebih besar dari sang suami, namun meski begitu sang istri harus tetap hormat pada suami sebagai kepala rumahtangga. Maaf misalnya begini, istri bekerja diluar rumah, punya pendapatan sendiri (gaji), ditambah gaji lebih besar dari sang suami, punya kedudukan/ jabatan lebih tinggi dalam pekerjaannya. Suatu ketika suami memberitahu agar jangan terlalu banyak shopping menghamburkan uang, lantas si istri marah dengan teguran suami karena merasa uang itu hasil kerjanya sendiri tidak minta pada suami, apa salahnya shopping menyenangkan diri sendiri. Pelajaran yang dipetik dari cerminan seorang Shinta yang posisinya digambarkan lebih rendah dari Rama, bahwa dalam kondisi apapun sebagai istri kita harus hormat pada suami, termasuk ketika mendapat teguran dari suami. Misal dalam perumpamaan diatas, istri jangan buru-buru marah pada suami karena dilarang shopping, merasa sang suami hanya iri atas pencapaian istri. Mungkin barangkali sang suami menegur karena melihatnya kok sayang ya bila uang hasil kerja capek-capek harus dibelanjakan, apalagi untuk membeli barang yang sekiranya kurang bermanfaat bagi keluarga.  Karena dari masalah-masalah seperti ini bisa menjadi asal muasal kata “cerai”. Kira-kira begitu pemahaman kami yang bisa saya tangkap dari penjelasan panjang lebar pemandu wisata dari Museum Kereta Yogyakarta tersebut.

Meski pada akhirnya kami tak jadi membeli lukisan batik bergambar Rama dan Shinta, namun sekembali dari sana, kami mendapat pelajaran baru yang diajarkan oleh seorang abdi dalem keraton yang sehari-hari menjadi pemandu wisata di Museum Kereta. Ya, kami memang orang jawa, suami saya orang jawa tulen (artinya dari kakek-buyut memang berdarah jawa), dan saya juga orang jawa meski lahir di sumatera dan berkakek buyut seorang Belanda, tapi kami tak pernah tahu tentang segala macam hal tentang jawa itu sendiri, termasuk penggambaran tokoh pewayangan Rama dan Shinta tersebut. Lho, bukannya kami tak mau belajar tentang budaya jawa, bagaimana mau belajar dan tahu bila orangtua kami ternyata tak pernah memberitahu kisah-kisah pewayangan??...

Mungkin kawan sekalian yang sudah benar-benar membaca kisah Rama dan Shinta sampai akhir cerita akan berkata, bila sebenarnya kisah cinta Rama dan Shinta adalah kisah cinta yang berakhir tragis dan apakah patut untuk menjadi panutan/ contoh dalam kehidupan berumatangga kita??.....Saya berpikir dari sudut pandang yang berbeda, melepaskan sisi negatifnya, dan mengambil sisi positifnya. Yang saya serap adalah, belajar dan mendalami tentang arti sebuah kesetiaan terhadap pasangan (suami-istri), bagaimana sebuah rumahtangga yang dibangun atas dasar cinta kasih, saling menyayangi, juga saling mendukung, saling melengkapi satu dengan yang lainnya, lewat sebuah budaya yang dicerminkan pada penggambaran sosok Rama dan Shinta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline